HALTE kampus di tengah siang yang terik.
“Serius tidak ingin diantar ke terminal?”
Annie mengangguk.
“Tidak menyesal.”
“Tidak.”
“Anggap saja ini rangkaian perayaan satu tahun jadian kita. Saya antar, ya?”
“Tidak usah Arung Mario! Saya bisa ke terminal sendiri dan bisa pulang sendiri.”
“Ya sudah. Saya juga malas kok mengantar kamu.”
“Malas pangkal bodoh,” timpal Annie.
Sesaat mereka terdiam. Annie menggigit kuku tangannya sambil memandangi mata Arung. Setelah beberapa detik, ia tersenyum.
“Kenapa tersenyum?”
“Kamu serius ingin punya dua belas anak?”
“Capek, deh,” ujar Arung lalu memalingkan wajahnya ke arah jalan.
Dari kejauhan angkot jurusan terminal perlahan mendekat. Arung langsung berdiri. Namun, melihat Annie sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya, Arung membiarkan angkot itu melintas tanpa melambaikan tangannya.
“Kamu ini sebenarnya serius mau pulang atau tidak, sih?” tanya Arung setelah duduk kembali di samping kekasihnya.
“Arung.”
“Ada apa?”
“Saya tidak jadi pulang.”
“Loh, kok tidak jadi? Terus, calon mertuaku bagaimana?”
“Saya masih bisa pulang besok, lusa, atau minggu depan. Lagipula kalau sekadar melepas rindu, dua malam lalu kami sudah bicara lama di telepon. Itu pasti sudah cukup untuk mengobati kerinduan mamaku. Saya tidak usah pulang, ya?”
“Sepertinya kamu mulai ketularan penyakit Ilham.”
“Dan sepertinya kamu mulai tidak suka kalau saya selalu berada di dekatmu.”
“Bukan begitu, Nona Pemarah. Saya hanya kasihan pada mamamu. Dia pasti menunggu. Kalau kamu tidak jadi pulang hari ini, dia pasti akan sedih.”
“Tidak usah menceramahiku. Saya akan pulang sekarang. Goodbye.”
Annie meraih tasnya lalu berdiri dan langsung melangkah ke arah angkot yang baru berhenti di depan halte. Wajahnya tampak kecewa. Namun, Arung yang mengekor di belakangnya sama sekali tidak peduli dengan perasaan apalagi wajah kusut kecewanya. Ia malah masih berusaha menggoda kekasihnya.
“Hati-hati di perjalanan karena ada pria tampan yang menunggumu di sini dengan cintanya.”
“Tidak perlu menungguku.”
“Kalau begitu, bebaskan hatiku dari belenggu cintamu.”