ANNIE melemparkan tubuhnya ke atas ranjang dan langsung menangis. Gadis itu benar-benar terluka dengan keputusan yang sudah dibuat nenek dan kedua orangtuanya.
Dia tidak habis pikir bagaimana bapaknya bisa sampai merasa kalau Dedi adalah calon suami terbaik untuknya. Meski mereka tidak akrab, Annie mengenal Dedi dengan baik. Dia seorang pengguna narkoba. Lalu, bagaimana mungkin seorang pengguna narkoba bisa menjadi suami terbaik?
Tapi bukan Dedi dan tabiat buruknya yang benar-benar melukai Annie saat ini. Yang membuat luka menganga di hatinya adalah perpisahannya dengan Arung. Dia tidak siap berpisah dengan kekasih hatinya. Cintanya sudah terlalu besar untuk Arung.
Sepanjang malam, Annie mengurung diri di kamarnya. Dua adiknya, Erin dan Yuli bergantian datang untuk menghiburnya. Namun, tidak satupun di antara mereka yang berhasil membuatnya tersenyum. Annie terus saja menangis. Menangisi nasibnya. Menangisi kekasihnya.
Tangisannya baru sedikit reda ketika mamanya datang menemuinya sebelum tengah malam.
“Bapakmu sudah memutuskan semuanya, Nak. Kita mau bilang apalagi kalau dia dan Om Sudirman sudah membuat kesepakatan menikahkan kamu dengan Dedi.”
“Jadi ini bukan keinginan Nenek?”
“Bukan, Nak. Nenekmu tadinya tidak tahu apa-apa soal ini. Kami sengaja memintanya pulang karena kami yakin dia bisa membantu kami membujuk kamu. Selama ini kamu selalu patuh pada Nenekmu jadi, kami pikir ketika mendengar alasannya memintamu menikah, kamu tidak akan menolak. Nenekmu juga sangat menyesal. Dia merasa bersalah setelah melihat reaksimu sore tadi.”
“Saya harusnya mengetahui ini sejak awal. Mama tahu siapa Dedi, bukan? Dia itu bandar narkoba. Seluruh orang di kampung ini mengetahui itu. Kalau bukan dari hasil menjual narkoba, dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli mobil dan rumah? Coba Mama pikir, apa pekerjaan Dedi? Tidak ada, kan? Setiap hari kerjanya hanya naik mobil ke sana kemari,” ketus Annie.
“Bapakmu juga mengetahui itu, Nak. Om Sudirman dan Tante Lina juga mengakuinya. Karena itulah mereka ingin segera menikahkan dia. Mereka yakin Dedi akan berubah setelah menikah denganmu karena dia sangat menyukai kamu. Malah, dia sendiri yang meminta kedua orangtuanya datang melamar kamu. Kalau dia memang mencintai kamu, Dedi pasti akan berubah setelah kalian menikah.”
“Tapi sekarang ini saya punya kekasih, Mama. Saya sangat mencintainya. Bagaimana saya akan menjelaskan hal ini kepadanya? Dia pasti akan sangat terluka.”
“Dengarkan Mama, Nak.” Zohra meraih tangan Annie. “Kalau kekasihmu memang mencintaimu, ia pasti akan merelakan kamu menikah dengan pria pilihan bapakmu. Saya yakin kekasihmu, siapa namanya?”
“Arung.”
“Saya yakin Arung pasti mengerti.”
“Dia mungkin memang bisa mengerti dan merelakan saya menikah dengan orang lain, tetapi saya ... saya yang tidak tega melukai perasaannya. Mama, tolong batalkan pernikahan ini. Saya mohon. Saya hanya mau menikah dengan Arung, bukan dengan bandar narkoba seperti Dedi.”
“Mama tidak bisa, Nak. Kamu harus menikah.”
Zohra memeluk putrinya yang masih menangis. Sekitar setengah jam kemudian, Annie tertidur bersama luka hatinya.
Malam itu, mimpi buruk sambung menyambung menghampiri Annie. Dalam mimpinya yang terakhir menjelang subuh, Arung dengan wajah berlumuran darah datang menemuinya sambil menangis. Arung seperti sedang mengingatkan dirinya tentang pengorbanan yang sudah dia lakukan dan luka hati yang sedang dialaminya.
“Kamu benar-benar tega Annie. Kamu kekasih yang kejam.”
“Saya terpaksa, Arung.”