MALAMNYA Annie memutuskan langsung kembali ke Makassar. Dia ingin segera menemui Arung dan meminta maaf kepadanya. Cepat atau lambat Arung pasti akan mengetahui rencana pernikahannya dan akan lebih menyakitkan bagi dia kalau mendengar kabar itu dari mulut orang lain.
Saat turun dari kamarnya, nenek dan mamanya yang tengah mengobrol di ruang tamu serentak berdiri menyongsongnya di ujung tangga. Mereka tampak terkejut melihat Annie menenteng tas pakaian.
“Kamu mau ke mana, Annie?” tanya Haryati.
“Kembali ke Makassar, Nek.”
“Kenapa harus buru-buru, Annie? Tinggallah dulu barang satu atau dua hari lagi. Nenek masih rindu padamu. Nenek juga masih ingin mengobrol denganmu.”
“Saya harus mengerjakan skrispi, Nek,” ketus Annie, wajahnya cemberut.
Meskipun sudah tahu pernikahannya dengan Dedi adalah inisiatif bapaknya, Annie masih kecewa pada sang nenek. Kalau saja neneknya tidak terlibat, dia yakin masih bisa menolak karena bapaknya pasti tidak akan berani memaksanya untuk menikah.
“Ini sudah malam, Nak. Apa tidak sebaiknya besok pagi saja kamu kembali ke
Makassar?” Zohra menyela.
“Tidak apa-apa, Mama.”
“Begini saja, biar kamu diantar Bapak. Atau, kalau kamu mau, Mama akan menelepon Dedi dan meminta dia mengantarmu ke Makassar. Dia pasti akan sangat senang. Kalian bisa sekalian mengobrol di perjalanan supaya lebih akrab sebelum menikah.”
“Iya betul, Mama kamu benar, Annie,” sambung Haryati.
“Tidak usah merepotkan orang lain.”
“Dedi itu bukan orang lain lagi, Annie. Dia calon suamimu. Zohra, telepon Dedi sekarang,” perintah Haryati.
“Tidak perlu, Nek. Saya pamit.”
Tidak ada lagi yang bisa menghentikan Annie. Setelah menjabat tangan nenek dan mamanya dia langsung memakai sepatunya lalu melangkah keluar rumah dengan terburu-buru. Sesaat setelah berdiri di tepi jalan, sebuah bus penumpang muncul dari arah Kota Parepare dan berhenti di hadapannya.
“Jangan lupa menelepon kalau sudah tiba di rumahmu, Nak,” ujar Zohra lewat jendela mobil yang terbuka di samping tempat duduk Annie.
Annie mengangguk tanpa menoleh. Bus bergerak perlahan.
Dua setengah jam kemudian Annie tiba di Makassar. Saat turun dari bus, Arung yang sudah menunggu di depan Distro langsung menyambutnya. Tadi, setelah memutuskan akan kembali ke Makassar, Annie memang sudah menelepon Arung di rumah kosnya.
“Katanya satu minggu, tapi baru dua hari sudah kembali lagi. Makanya, kalau tidak kuat menanggung rindu, jangan berani pulang. Repot sendiri kan?” Arung berceloteh sambil meraih tas yang dipegang Annie. Dia tampak sangat bahagia melihat gadis yang semalam membuat dia susah tidur kini sudah muncul kembali di hadapannya.
Namun, perasaan senang itu hilang seketika saat melihat mata Annie yang terpapar lampu mobil tampak berkaca-kaca. Detik berikutnya, Arung bahkan melihat air bening sudah meluncur dari sudut mata kekasihnya.
“Kenapa kamu menangis, Annie?
“Saya ....”
“Apa yang terjadi?” desak Arung. Perasaannya mulai tidak enak. Ia menduga sesuatu yang buruk sudah terjadi sehingga kekasihnya menangis. “Apa ada yang mengganggumu di bus tadi?”
Annie menggeleng.
“Lalu, kamu kenapa?”
“Saya akan menikah, Arung.”
Annie langsung menghambur memeluk Arung. Tangisannya pecah di dada kekasihnya. Gadis itu tidak lagi mempedulikan beberapa mahasiswa yang melintas dan berhenti menyaksikan mereka sambil berbisik-bisik.
“Jangan bercanda, Annie. Ini tidak lucu.”
Arung melepaskan pelukan Annie lalu menatap mata gadis itu.
“Saya tidak bercanda, Arung. Saya memang akan segera menikah. Tadi sore saya sudah dilamar.”
Tubuh Arung lemas seketika. Ia merasa seolah baru saja diterjang tsunami dahsyat yang mengangkat tubuhnya ke atas sebelum menghempaskannya kembali ke tanah dengan sangat keras. Seluruh tulang-tulangnya seperti berubah menjadi kayu-kayu lapuk yang tak mampu lagi menopang tubuhnya. Ia harusnya sudah ambruk.
“Jadi kamu akan meninggalkanku?”
“Maafkan saya, Arung.”
Untuk beberapa saat Arung masih berharap Annie sedang bergurau. Dia berharap