WAJAH Annie kusut seperti kemeja yang sudah tidak pernah bertemu setrika selama tujuh bulan. Gadis itu benar-benar sudah sangat jengkel pada takdir cintanya.
Tampilan buruk—yang sungguh tidak sedap dipandang mata—itu karena mimpi yang tidak tuntas.
Jadi, ceritanya begini. Annie yang tidur di dalam kamar subuh tadi bermimpi sedang menikah dengan Arung. Namun, ketika sudah prosesi ijab kabul, Arung yang tidur di sofa ruang tamu masuk kamar dan membangunkannya persis sebelum mantan kekasihnya itu mengucapkan ijab kabul pernikahan mereka.
Orang lain mungkin menganggap mimpi tak tuntas seperti itu hal biasa. Hanya bunga tidur yang tanpa makna. Tapi bagi Annie tidak. Itu sangat mengganggu pikiran dan mengoyak-oyak hatinya.
Walaupun hubungannya dengan Arung sudah berakhir, hati kecil gadis itu masih mengharapkan sebuah mukjizat dan pernikahannya dibatalkan. Namun, setelah mimpi itu, dia merasa sudah harus berhenti berharap dan membuang jauh-jauh seluruh impiannya menikah dengan Arung. Annie menganggap mimpi tak tuntas itu adalah pesan dari Tuhan bahwa Arung memang bukan miliknya. Sang Penentu Takdir bahkan tidak menginginkan mereka bersatu di dalam mimpi.
Begitulah ceritanya. Dan pagi ini, saat mereka sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus, Annie terus memasang wajah nelangsanya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya saat mereka berjalan beriringan menuju teras depan. Mereka saat itu terlihat seperti sepasang suami istri yang habis bertengkar hebat sepanjang malam dan sudah sepakat untuk berpisah. Sekarang ini, mereka seolah-olah akan ke Pengadilan Agama, bukan ke kampus.
Saking sengsaranya wajah yang ditunjukkan Annie, Arung baru berani membuka obrolan saat mereka sudah melintas di belakang Fakultas Teknik. Berjalan kaki 500 meter dari rumah kosnya ke Fakultas Sastra memang akan sangat membosankan tanpa diselingi dengan mengobrol.
Namun, Annie terus saja membisu. Setelah tak lagi menjadi kekasih Arung, baginya hidup memang sudah membosankan. Bicara atau diam akan sama saja. Dua-duanya tidak akan pernah bisa mengembalikan keceriaannya apalagi mengubah takdir cintanya.
“Tidak baik kalau teman-teman melihatmu seperti itu. Kalau kamu tidak ingin bicara, setidaknya tersenyumlah. Senyum itu sedekah dan pengganti make-up paling luar biasa bagi kaum wanita. Kalau kamu sedang tersenyum, kamu akan terlihat jauh lebih cantik. Sumpah. Saya serius. Ayo, tersenyumlah.”
Arung bergurau, berusaha membujuk Annie agar mau tersenyum. Tetapi sia-sia saja. Wajah gadis itu malah tampak makin kusut ketika mereka mulai memasuki area Fakultas Sastra. Dia bahkan sama sekali tidak menyapa Ilham yang menyambut mereka di koridor. Setelah mengambil dompetnya dari dalam tas Arung, ia langsung naik ke MaceZone tanpa mengucapkan satu kata pun.
“Annie tidak jadi pulang?”
“Jadi. Dia baru datang tadi malam.”
“Terus, kenapa dia? Kok wajahnya kayak mahasiswa yang sudah kehabisan uang bulanan begitu?” tanya Ilham keheranan. Baru kali ini gadis itu mengabaikan dirinya.
Arung mengangkat bahunya.
“Kalian bertengkar, ya?”.
“Tidak.”
“Lalu, ada apa?” desak Ilham.
Awalnya Arung ingin merahasiakan rencana pernikahan Annie. Namun, setelah ia timbang-timbang, Arung menganggap itu tidak ada gunanya lagi.
“Annie akan menikah, Kawan.”
“Ini masih terlalu pagi, Arung. Kalau mau bercanda, cari bahan lain karena yang itu tidak lucu. Cepat, katakan ada apa sebenarnya?”
“Saya serius, Kawan. Dia akan menikah bulan depan,” jawab Arung. “Tapi tolong jangan katakan pada siapa pun. Cukup kita saja yang tahu. Semakin banyak yang tahu kalau dia akan menikah, Annie akan semakin sedih.”
Arung menceritakan semua yang terjadi. Termasuk bagaimana perjodohan Annie diatur oleh bapaknya dan siapa calon suaminya.
“Lalu, kamu bagaimana?” tanya Ilham prihatin.
“Saya akan baik-baik saja.”
“Saya tidak yakin, Kawan.”
“Saya juga sebenarnya tidak yakin. Tapi sudahlah. Ayo.”