“ARUNG.”
Mata Annie sembab.
Siang ini Arung mengantar gadis itu ke terminal. Sambil menunggu keberangkatan bus, mereka mengobrol di ruang tunggu terminal pemberangkatan yang sepi. Ini percakapan perpisahan mereka. Semalam, saat mengantar Annie pulang, Arung sudah mengatakan bahwa mereka tidak akan berkomunikasi lagi setelah Annie kembali ke rumahnya. Meski begitu, Arung berjanji akan datang ke pesta pernikahannya.
“Arung.”
Merasa tidak digubris, Annie kembali menegur Arung.
“Apa?”
“Saya tidak mau pulang.”
“Kalau begitu, tinggallah di sini.”
“Saya benar-benar tidak mau pulang, Arung.”
“Lalu, kamu mau ke mana? Mau kawin lari bersamaku?”
“Kenapa bukan kamu yang jadi pengantin priaku, Arung? Apakah Tuhan tidak mengetahui kalau saya sangat mencintamu? Apakah Tuhan tidak menginginkan saya bahagia? Apakah kamu memang tidak pernah berdoa agar kita berjodoh, Arung?”
Annie mencoba menatap mata Arung. Tapi Arung langsung memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa menatap mata sembab itu. Itu bukan mata Annie. Itu mata yang penuh luka.
“Arung, saya mencintaimu. Saya hanya ingin menikah denganmu.”
“Ini sudah kita bicarakan, Annie. Pulanglah, keluargamu menunggumu.”
Hening beberapa saat.
Seorang pedagang buah berjalan menghampiri mereka. Arung tersenyum ke arahnya sambil mengangkat tangannya. Pedagang buah itu langsung memutar badannya dan pergi meninggalkan mereka sebelum menawarkan dagangannya.
“Kamu serius akan datang ke pesta pernikahanku?”
“Ya, saya akan datang.”
“Saya akan menangis saat melihatmu. Kumohon, tidak usah datang. Berjanjilah padaku, kamu tidak akan datang.”