ERIN mengamati wajah Annie sejenak dari ranjang lalu berdiri dan berkata, “Kakak kelihatan sangat cantik dengan baju pengantin itu.”
Sambil memandangi wajahnya di cermin yang terlihat lebih kurus dari tiga minggu lalu, Annie tersenyum. Itu senyum pertamanya setelah kembali dari Makassar. Senyum yang sebenarnya tidak dia inginkan.
Dari arah ruang belakang, suara mesin blender para pembuat kue terdengar seperti nyanyian pesta kemenangan yang sedang merayakan luluhnya hati Annie.
Hari ini, dua hari menjelang pernikahannya, Annie sudah pasrah menerima takdirnya. Arung sudah merelakannya dan dia juga harus belajar melupakan mantan kekasihnya itu. Arung sekarang hanya menjadi masa lalunya. Masa depan yang menantinya adalah kehidupan bersama Dedi.
“Saya serius. Kakak terlihat cantik,” Erin kembali memuji Annie.
“Tidak perlu menghiburku.”
“Sebenarnya Arung itu seperti apa sih, Kak? Maksud saya, orangnya bagaimana?” tanya Erin sejurus kemudian sambil menarik kursi dan duduk di samping Annie. “Kok Kak Annie sepertinya begitu sedih harus berpisah dengan dia.”
“Apakah penting buatmu untuk tahu Arung sosok seperti apa?”
“Ya, kalau kakak mau menceritakannya saya akan dengan senang hati mendengarnya. Tapi kalau tidak, ya, tidak apa-apa juga sih.”
“Saya tidak ingin membicarakan dia lagi. Hubungan kami sudah berakhir.”
Perhatian Annie kembali ke cermin. Sesekali dia merapikan rambutnya. Tapi Erin sepertinya belum mau berhenti mengganggu kakaknya.
“Betapa beruntungnya Kak Dedi bisa mempersunting Kak Annie,” gumam Erin. “Dia pasti akan mencintai kakak lebih dari siapa pun.”
“Itu mustahil.”
“Kenapa?”
“Tidak seorang pun di dunia ini yang bisa mencintaiku melebihi Arung.”
“Wah, itu serius? Kalau begitu, Arung buat saya saja ya, Kak.”
“Saya akan membunuhmu.”
“Arung akan melindungiku.”
Erin masih berusaha menggoda Annie saat tiba-tiba terdengar suara teriakan histeris dari bawah. Tanpa melepas baju pengantin yang dikenakannya, Annie menghambur turun diikuti adik bungsunya tersebut.
“Ada apa?” tanya Annie sambil menghampiri mama dan neneknya yang berpelukan sambil menangis di ruang tamu.
“Kenapa kalian menangis?” Annie mengulang pertanyaannya. Pikiran-pikiran buruk bermunculan di kepalanya. Saat menoleh ke luar, dia melihat bapaknya setengah berlari menuju ke mobilnya lalu pergi dengan terburu-buru.
“Bapak mau ke mana, Ma?”
“Kenapa nasibmu semalang ini, Nak?” kata Zohra menatap nanar wajah putrinya.
“Saya tidak mengerti maksud, Mama? Tolong cepat katakan apa sebenarnya yang telah terjadi?” Annie tampak sangat kebingungan. Saat ini dia merasa baik-baik saja dan sudah siap untuk menikah. Dan baginya, tidak ada lagi nasib yang lebih buruk selain pernikahan yang sama sekali tidak dia inginkan.
“Dedi, Nak,” kata Zohra tertahan.
“Dedi?”