Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #24

Telepon Pangeran Berkuda

SUDAH hampir tiga jam Annie berdoa di kamarnya. Tetapi Tuhan sepertinya masih tidak berselera membantunya. Mungkin Sang Pengatur Kehidupan sedang marah padanya karena dia dengan lancang telah memprotes takdirnya. Dia sudah menuduh Tuhan menghukumnya dengan tidak adil.

Sekarang Annie benar-benar bingung, sedih, khawatir, terpuruk, dan sendiri. Dia seperti sedang berdiri di tengah kepungan tembok tinggi yang setiap menit terus bergerak mendekat ke arahnya. Sebentar lagi tembok itu akan meremukkan tubuhnya yang tidak lagi berdaya.

Dalam keheningan kamarnya yang gelap Annie kembali menangis.

Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan saat ini selain menangis? Dia tidak ingin menikah dengan Iswan atau siapa pun selain Arung. Namun, setelah semua yang terjadi, dia ragu Arung mau menjadi pengantin prianya. Kalau pun bersedia, Annie tak yakin Arung bisa meyakinkan orangtuanya. Sementara, syarat dari bapaknya tidak bisa lagi ditawar-tawar. Tanpa lamaran resmi keluarga mempelai pilihannya, pelaminan akan tetap menjadi tempatnya bersanding bersama Iswan.

Masalahnya, waktu sudah sangat mepet. Bapaknya hanya akan menunggu sampai besok. Itu berarti dia harus bisa menyakinkan Arung malam ini. Dan setelah Arung bersedia, keesokan harinya mereka harus menemui kedua orangtuanya untuk meminta persetujuan. Annie mencoba menghitung waktu yang dia miliki dengan jari tangannya. Sebelum hitungannya benar-benar selesai dia sudah memegangi kepalanya.

Mustahil, pikirnya.

Annie menyerah.

Menangis.

Dia kalah lagi.

Sudahlah. Ini takdirnya.

Annie sudah siap membuka pintu hatinya untuk Iswan ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.

 “Kamu sudah tidur, Annie?”

Zohra muncul dan langsung memencet saklar lampu di samping pintu. Kamar seketika terang benderang. Tetapi sinar terang lampu tak mampu menembus hati Annie. Hati gadis itu tetap gelap tanpa cahaya. Kabut kesedihannya terlalu tebal untuk bisa diterangi lampu neon 14 watt.

 “Belum. Ada apa, Ma?”

Annie tidak berusaha menghapus air matanya. Dia biarkan mamanya melihat kesedihannya. Sekarang ini, luka di hatinya memang sudah terlalu menganga. Teramat sulit disembunyikan apalagi kalau hanya coba ditutupi dengan senyuman palsu.

“Kamu harus sabar, Nak?”

Zohra duduk di tepi ranjang sambil membelai kepala putrinya.

“Kenapa nasib saya semalang ini?”

“Entahlah, Nak.”

Annie meraih tangan mamanya lalu menempelkannya di pipi. Itu kebiasaannya sejak kecil. Ketika sedang bersedih, tangan mamanya seperti punya energi yang bisa membuatnya tenang dan kembali ceria. Namun kali ini sentuhan kasih mamanya tidak bisa lagi membantunya. Sekarang ini dia terlalu sedih.

“Seandainya sejak awal kita tidak menerima lamaran keluarga Dedi, semua ini pasti tidak akan terjadi,” keluh Annie.

“Semua ini memang salah kami. Kami yang telah memaksamu untuk menikah. Tapi percayalah, kami sama sekali tidak pernah menyangka kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Kami hanya ingin kamu hidup bahagia. Kami semua menyayangimu, Nak.”

Zohra memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Sesekali ia menghapus air mata Annie. “Apakah Arung sudah tahu?”

Annie menggeleng.

“Kenapa kamu tidak mencoba menghubunginya, Nak?”

“Arung sudah tidak mau lagi bicara denganku, Mama.”

Annie terisak. Zohra juga mulai menangis. Ia mendekap putrinya dengan erat.

“Saya juga bingung, Nak.”

“Sepertinya kali ini saya juga harus menerima pernikahan ini.” Annie pasrah.

“Kita memang tidak punya pilihan lain lagi, Nak. Bapakmu sudah menelepon Om Sudirman. Iswan juga sudah bersedia menggantikan posisi adiknya. Mudah-mudahan ini ada hikmahnya. Semoga kelak kamu hidup bahagia bersama Iswan.”

Mereka masih mengobrol saat Yuli muncul di pintu.

“Ada apa, Nak?” tanya Zohra.

“Ada telepon buat Kak Annie, Ma.”

“Telepon untuk Annie?” Mata Zohra menyipit. Perlahan ia menoleh ke arah Annie.

“Iya, telepon dari Makassar.”

“Siapa?” tanya Annie.

Yuli menggaruk kepalanya. “Saya lupa menanyakan namanya, tapi sepertinya teman kuliah Kak Annie.”

“Laki-laki?” tanya Annie kembali. Ia berharap yang menghubunginya adalah Arung. Ia berharap mukjizat itu muncul. Bukankah di film-film kerajaan tempo dulu, skenarionya selalu seperti itu? Saat seorang putri sedang dirundung kesedihan dan sudah putus asa, akan muncul seorang pangeran berkuda sebagai malaikat penyelamat. Ini pasti Arung. Pangeran berkudanya. Kekasih hatinya.

“Perempuan.”

Harapan Annie sirna tanpa bekas. Tidak ada pangeran yang datang untuk membawanya keluar dari sangkar kesedihan yang membelenggunya.

“Siapa, ya?”

“Lebih baik kamu turun sekarang. Siapa tahu itu telepon penting dari teman kuliahmu.”

Zohra menyuruh Annie segera bangkit dari tempat tidur. Tapi gadis itu sama sekali tak bergerak. Tempat tidur itu seakan-akan adalah tali kesedihan yang mengikatnya dengan sangat kuat sehingga dia tak bisa lagi melepaskan diri. Di sinilah tempatnya. Bersama kesedihan. Bersama semua keputusasaannya.  

“Ayolah, Nak. Temanmu pasti menunggumu menjawab teleponnya.”

“Mama saja yang terima. Bilang saya sudah tidur.”

“Itu kan telepon dari teman kamu, Nak. Ayo, bangunlah.”

Lihat selengkapnya