Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #25

Sepasang Hati

PERJALANAN 111 kilometer ke Makassar seperti obat bagi luka dan kesedihan Annie. Setiap kilometer yang mereka lalui menyembuhkan satu persatu luka menganga di sekujur tubuhnya. Perasaan gadis itu ingin buru-buru sampai di Makassar agar seluruh luka itu tak lagi mengeluarkan rasa sakit.

Pukul satu dinihari, mereka tiba di rumah kos Arung. Saat mobil berhenti, Annie langsung melompat turun, menghambur memeluk Arung yang memang sudah menunggunya di balai-balai di depan rumah kosnya.

“Heiii, apa yang kamu lakukan, Annie? Malu dilihat orang,” kata Arung.

Tiga teman Arung yang duduk bersamanya di balai-balai kompak bersiul. Sementara Makmur yang baru turun dari mobil hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu kebahagiaan seperti apa yang saat ini tengah dirasakan keponakannya. Sepanjang perjalanan dari Barru ke Makassar, Annie sudah memenuhi kepalanya dengan kisah-kisah asmara mereka. Mulai dari pertemuan pertama mereka, insiden yang menimpanya sebelum mereka menjadi sepasang kekasih, hingga akhirnya mereka putus karena Annie harus menikah dengan pria lain.

“Saya langsung pulang saja,” kata Makmur setelah mengobrol sejenak dengan Arung di belakang mobil.

“Terima kasih, Om,” ujar Annie.

Setelah Makmur pergi, Arung segera mengajak Annie ke kamarnya.

“Bagaimana?”

Annie meraih tangan Arung setelah mereka melintasi pintu masuk. Kedua alisnya terangkat saat Arung berhenti dan berbalik menghadap dirinya.

“Apanya yang bagaimana, Annie?” tanya Arung pura-pura tidak mengerti.

“Orangtuamu bagaimana?”

“Santai saja.”

“Santai? Sekarang sudah tengah malam, Arung.”

“Kita mengobrol di dalam kamar. Ayo.”

“Tapi kita harus selesaikan ....”

“Sudahlah.”

“Arung, Bapakku tidak akan ....”

Annie mencoba menjelaskan persyaratan yang diajukan bapaknya ketika ujung telinganya menangkap suara dua orang yang sedang mengobrol di dalam kamar Arung. Dan saat sudah hampir sampai di depan pintu, dia langsung mengenali suara itu. Itu suara orangtua Arung. Gadis itu buru-buru melepaskan tangan Arung.

“Eh, Om, Tante, kapan datang?” Annie menyapa kedua orangtua Arung dengan kikuk sambil melangkah masuk untuk menyalami mereka secara bergantian.

“Kami sudah di Makassar sejak kemarin, Annie. Kebetulan lagi ada acara keluarga. Tapi kami baru datang ke sini beberapa jam lalu. Arung tiba-tiba menelepon dan memaksa kami datang ke sini. Katanya ada urusan yang sangat penting. Kalau mau tahu urusan penting apa yang membuat kami sampai datang malam-malam ke sini, silakan tanya sendiri padanya.”

Syamsiah melirik anaknya yang tersipu malu.

“Oh,” gumam Annie pelan dengan wajah bersemu merah. Dia belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Namun, melihat senyum kedua orangtua Arung, dia yakin saat ini nasib baik sedang memihak kepadanya.

“Sudahlah, Ma. Berhenti menggoda Annie.”

“Siapa yang sedang menggoda Annie? Kami sedang membicarakan kamu, iya kan Pak?”

“Kasihan,” gumam Annie pelan sehingga suaranya hanya bisa didengar Arung.

”Tidak usah mengganggu mereka, Bu. Bapak sudah mengantuk,” kata Anwar, bapak Arung seraya merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

“Kita bicara di ruang tamu saja, Annie. Sifat usil mamaku sepertinya lagi kambuh.”

Syamsiah hanya tersenyum saat Arung menarik tangan Annie dan menggandengnya pergi. Ia senang melihat putra bungsunya tampak bahagia. Setelah Arung dan Annie keluar dari kamar, ia langsung memadamkan lampu dan naik ke atas ranjang.

Beberapa detik berikutnya, Arung dan Annie sudah di ruang tamu.

“Cepat, ceritakan padaku apa yang terjadi?” Annie sudah tak sabar menunggu penjelasan. Sebelum duduk, dia sudah menyerbu Arung dengan pertanyaan.

“Duduklah dulu.”

“Saya tidak perlu duduk. Katakan sekarang!”

Lihat selengkapnya