Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #26

Keluarga, Rumah, dan Impian

Bagian Kedua

     

“SAYA sangat bahagia, Win.”

“Kalau begitu kamu harus berterima kasih kepadaku dong,” ujar Wina.

“Wah, perasaan setelah menikah dulu saya sudah berterima kasih.”

“Untuk sebuah jasa besar, kamu memang harus berterima kasih setiap tahun. Kecuali kalau kamu sudah mulai lupa atau pura-pura lupa siapa yang sudah membantumu.”

“Iya, iya, terima kasih.”

Annie dan Wina terkekeh lagi. Sudah hampir satu jam mereka mengobrol lewat telepon.

Hari ini, enam tahun setelah pernikahan Annie dan Arung. Enam tahun yang penuh kebahagiaan. Arung memberikan begitu banyak cinta dan kasih sayang sehingga Annie merasa tidak butuh apa pun lagi untuk bisa lebih bahagia dari perasaannya saat ini.

Memangnya apalagi yang kamu butuhkan kalau cinta seorang pria sudah mengepungmu? Tidak ada lagi. Kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak harta yang bisa kamu kumpulkan atau seberapa sering engkau gonta ganti mobil. Harta melimpah hanya simbol-simbol yang terkadang menipu. Kebahagian sesungguhnya adalah ketika kamu berada di dekat orang yang mencintaimu setiap detik dan senantiasa merawat senyummu. 

“Bagaimana anak-anakmu?”

“Aura, Syifa sehat dan sudah pintar mengurus diri mereka sendiri. Cuma si bungsu Arqam yang agak merepotkan, rewelnya minta ampun. Tapi biasalah bayi usia tiga bulan memang seperti itu. Kamu juga pasti mengalaminya saat Fikri masih bayi,” jawab Annie.

Tiga tahun lalu, Wina juga telah menikah dengan kekasihnya dan kini menetap di Jakarta. Fikri, anak laki-laki mereka sekarang berusia dua tahun.

“Kamu beruntung sudah punya anak laki-laki dan perempuan.”

“Makanya kamu harus hamil lagi.”

“Mudah-mudahan anak saya berikutnya perempuan.”

“Amin, amin, amin.”

Obrolan mereka terhenti sejenak. Arqam yang tidur di kamar terbangun dan menangis.

“Jangan tutup teleponnya, Win. Saya segera kembali.”

Annie melompat dari kursi dan setengah berlari ke kamarnya. Tak sampai satu menit, dia sudah kembali ke ruang tamu dan menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja.

“Halo.”

“Wah, Arung Junior sepertinya sudah ingin mandi sore. Saya tidak berani mengganggu ibunya lebih lama lagi.”

“Kenapa?”

“Takut.”

“Takut kenapa?”

“Jangan sampai dia mengeluarkan jurus seperti ayahnya.”

“Ah, kamu ada-ada saja.”

Annie tertawa. Wina juga tertawa. Kenangan menyeret mereka mundur ke zaman kuliah beberapa tahun lalu.

“Ayahnya sudah ganti olahraga, Win. Tidak ada lagi karate-karatean. Arung sekarang sudah jadi penggila futsal. Ia punya komunitas futsal jurnalis. Kamu tahu apa nama komunitasnya? PPSB.”

“PPSB? Persatuan ....”

“Bukan. Ini singkatan dari Pantang Pulang Sebelum Bayar.”

“Serius itu namanya?”

“Bukan lagi serius, tapi dua-rius. Mereka main futsal dua kali seminggu. Sebelum melahirkan Arqam, hampir setiap hari Minggu saya menemani Arung. Sekalian kami makan malam di luar. Terkadang mereka juga bikin acara bakar-bakar ikan setelah bermain futsal.”

“Kedengarannya sangat menyenangkan.”

“Iya, pokoknya seru.”

Annie terdengar begitu bersemangat. Ia ceritakan semua kehidupan keluarganya. Termasuk bagaimana Arung begitu memanjakan dirinya. Wina benar-benar dia buat cemburu. Annie baru berhenti bercerita setelah Arqam menangis lagi.

“Saya sebenarnya masih ingin mendengar cerita-cerita kalian yang lain, tapi sepertinya kamu harus mengurus Arqam dulu, deh. Baterai HP saya juga sudah mulai lowbat.”

“Padahal saya masih rindu padamu, Win. Kamu sih tidak pernah pulang.”

“Iya, lain kali kita ngobrol panjang lebar lagi. Eh, jangan lupa sampaikan salamku pada Arung.”

“Saya juga, titip salam untuk suamimu.”

                            

Lihat selengkapnya