KUMANDANG azan dari masjid kompleks membangunkan Arung. Di tengah kantuk yang masih menderanya, ia memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur lalu mengambil air wudhu kemudian salat subuh.
Selesai salat, ia membangunkan Annie kemudian keluar untuk jogging keliling kompleks dan kembali setengah jam kemudian. Setelah beristirahat sejenak, Arung langsung mengambil pakaian kotor yang sudah menumpuk di kamarnya dan mencucinya di sumur belakang.
Sejak Aura, anak pertama mereka lahir, urusan mencuci pakaian memang terkadang diambilalih Arung. Terutama pada saat libur dan Senin pagi seperti ini. Annie pernah protes. Selain menganggap itu sudah tugas turun temurun seorang istri, dia juga malu pada tetangganya. Tetapi Arung tidak menggubrisnya.
“Bapakku juga mencuci pakaian mamaku. Lalu, kenapa kamu harus malu?” kata Arung saat Annie pertama kali memprotesnya.
Sejak hari itu, Annie tidak pernah lagi meributkan siapa yang harus mencuci. Apalagi setelah Arqam lahir, dia memang sangat membutuhkan bantuan Arung untuk beberapa pekerjaan rumah tangga yang seperti tidak ada habisnya.
Arung selesai mencuci satu jam kemudian. Setelah mengambil teh yang sudah disiapkan Annie di ruang tamu, ia keluar ke balai-balai bambu di depan rumahnya. Tetapi belum sampai tiga menit, ia masuk kembali.
Annie yang memperhatikan suaminya dari balik tirai jendela kamar hanya tersenyum.
“Ayahmu pasti lupa mengambil rokoknya. Kalau sudah besar, kamu tidak boleh merokok. Itu kebiasaan buruk. Sama sekali tidak ada manfaatnya, hanya menghabiskan uang dan merusak kesehatan,” bisik Annie pada Arqam yang sedang digendongnya.
Sudah kerutinan Arung, setiap pagi ia bersantai di depan rumah sambil merokok. Biasanya ia menghabiskan dua atau tiga batang rokok sebelum mandi. Setelah sarapan ia kembali merokok lalu berganti pakaian dan baru kemudian berangkat ke kantor.
Arung kembali ke teras depan beberapa detik kemudian. Tapi seperti saat pertama keluar, ia masih belum memegang rokok. Ia malah terlihat membawa sebuah novel. Karena penasaran, Annie menidurkan Arqam lalu memeriksa ruang tamu. Ternyata rokok Arung yang semalam sempat dia lihat di atas meja sudah tidak ada lagi. Dengan dahi berkerut, Annie kembali ke kamar dan mengintip Arung lewat jendela. Mungkin Arung mengantongi rokoknya, pikirnya.
Namun, hingga tehnya sudah hampir habis, Arung tak juga menunjukkan tanda-tanda akan merokok. “Ada yang aneh,” gumam Annie sembari melangkah ke pintu dan mengambil tas Arung yang tergantung di belakang pintu tersebut.
Annie baru menarik resleting tas itu saat Arung tiba-tiba muncul dan menepuk pundaknya. “Ha, cari apa? Ayo mengaku.”
Tidak ingin tambah penasaran, Annie segera bertanya, “Rokok kamu habis, ya?”
“Tidak. Memangnya kenapa?” Arung balik bertanya.
“Sejak tadi saya perhatikan kamu tidak merokok.”
“Salah kalau saya tidak merokok?”
“Ya, heran saja. Biasanya kan kalau pagi seperti ini asap sudah mengepung rumah kita.”
Arung tertawa sambil menatap mata Annie. Ah, mata Annie masih seindah dulu. Mungkin saat kecil Annie menetesi matanya dengan formalin sehingga keindahannya awet, celutuk Arung dalam hati.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu? Saya terlalu cerewet, ya?”
“Bukan.”
“Lalu, ada apa?”
“Matamu masih seindah tujuh tahun lalu.”
“Dasar tukang gombal.”
“Serius, saya tidak bohong.”
“Jangan alihkan pembicaraan. Jawab pertanyaanku, kenapa kamu tidak merokok?”
“Hari ini saya sudah berhenti merokok, Cinta.”
Mata Annie membelalak saat mulutnya terbuka membentuk huruf O yang besar. Dia tidak menyangka Arung akan mengatakan hal itu karena saat ini sepertinya masih terlalu pagi untuk mendengar kabar baik.
Perumpamaan mendapat durian runtuh terlalu sederhana untuk menggambarkan apa yang sedang dirasakan Annie saat ini. Ini bukan sekadar mengejutkan dan membahagiakan saja. Rasanya lebih dari itu. Rasanya .... Ah, sudahlah, sulit melukiskannya.
Tapi hal seperti ini memang tidak perlu dilukiskan dengan kata-kata. Yang harus dilakukan adalah mengekspresikan kebahagiaan itu. Dan itulah yang dilakukan Annie. Dengan penuh cinta, dia menghambur ke pelukan Arung. Memeluknya dengan erat, seperti seorang bocah menyambut ayahnya yang baru pulang dari kantor dengan membawa mainan yang sudah lama dia idam-idamkan.
“Kamu serius sudah berhenti merokok, Sayang?” tanya Annie setelah melepaskan pelukannya. Matanya berbinar karena terlalu gembira.
Agak sulit bagi Annie untuk langsung percaya. Dia tahu bagaimana sulitnya seorang berhenti merokok apalagi yang berstatus perokok berat seperti suaminya. Selain itu, kebiasaan bercanda Arung memang masih sering kambuh. Annie ingat tahun lalu saat Arung membelikan dia BlackBerry di Jakarta. Saat tiba di rumah, ia bilang BlackBerry itu ketinggalan di pesawat bersama tasnya. Sepanjang malam Annie memasang wajah masam. Ia tidak berbicara sepatah kata pun. Tapi ketika bangun subuh, hadiah ulangtahunnya itu ternyata sudah ada di depan hidungnya. Bisa jadi sekarang ini Arung juga hanya bercanda.
“Saya serius. Kalau tidak percaya, kamu bisa periksa tempat sampah di depan. Sisa rokok saya yang semalam semuanya ada di situ,” ujar Arung. “Sana periksa.”
“Tidak usah, saya percaya kok,” kata Annie. “Terima kasih, Sayang. Saya sudah menunggu ini sejak lima tahun lalu. Saya harap kamu tidak akan merokok lagi.”
“Amin, amin, amin. Semua sudah berakhir pagi ini. Dua belas tahun sudah cukup. Hari ini, besok, lusa dan seterusnya tidak akan ada lagi asap rokok di sekitar rumah kita,” kata Arung sambil menggandeng Annie ke ruang tamu.
“Eh, tapi ngomong-ngomong kenapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk berhenti merokok?” tanya Annie sebelum mereka duduk di kursi. Dia masih penasaran.
“Selama ini saya sudah sangat bodoh. Setiap kali akan merokok, saya harus keluar rumah, menjauh dari anak-anak kita. Terkadang saat lagi asyik merokok dan anak-anak mendekat, saya malah menyuruh mereka pergi. Beberapa minggu terakhir saya memikirkan itu. Saya pikir ada yang salah dengan otak saya kalau mengabaikan darah daging sendiri demi rokok,” jelas Arung.
“Jadi, kamu berhenti merokok karena anak-anak, bukan karena saya yang sering mengomel?”
“Saya berhenti karena kalian,” jawab Arung.
“Oh.” Ekspresi Annie menunjukkan dia kurang percaya dengan jawaban suaminya.
“Ada apa?”
“Saya kok ragu, ya?”
“Ragu kenapa?”