KABAR penemuan pesawat nahas itu menyebar cepat. Dalam hitungan menit saja, hampir semua stasiun TV, radio, dan media online sudah memberitakannya.
Gubernur lewat sambungan telepon di salah satu stasiun TV swasta nasional menyebut bahwa pesawat nahas itu ditemukan warga di sekitar pegunungan di Desa Ranguan, Kecamatan Matangnga. Kondisi pesawat hancur berkeping-keping, tetapi masih ada 12 penumpang yang ditemukan dalam kondisi selamat.
Setelah penemuan pesawat dikonfirmasi gubernur, beberapa menit kemudian Menteri Perhubungan menggelar jumpa pers di Makassar. Informasi yang disampaikan Menteri lebih detil. Mulai kondisi para korban, luka-luka mereka, hingga gambaran lokasi jatuhnya pesawat. Menteri mengatakan bahwa pesawat menabrak tebing sebelum jatuh ke jurang.
Apresiasi terhadap kinerja pemerintah bermunculan dari sejumlah negara setelah pengumuman resmi Menteri. Pemerintah Indonesia mendapat pujian dari dunia internasional karena mampu menemukan pesawat nahas itu kurang dari 24 jam setelah dinyatakan hilang. Dalam kondisi cuaca seperti saat ini, penemuan pesawat kurang dari 24 jam setelah hilang kontak memang seperti sebuah keajaiban. Apalagi pesawat itu jatuh di pegunungan yang dikepung hutan lebat dengan pepohonan yang sudah berusia ratusan tahun.
Rentang waktu satu jam setelah kabar penemuan pesawat itu dirilis, media elektronik dan online berlomba meng-update perkembangan terbaru tentang kecelakaan tersebut. Salah satu media online melaporkan bahwa upaya evakuasi para korban membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain posisinya di dalam jurang, para korban juga harus dipikul dengan berjalan kaki sekitar 10 km ke lokasi helipad di pinggiran desa.
“Sepertinya ini tidak akan selesai hari ini.”
Arung menggumam setelah membaca berita itu.
“Kenapa?” Teguh yang duduk di samping Arung menoleh dan langsung bertanya.
“Coba baca ini, para korban harus dipikul 10 kilometer.”
“Lalu masalahnya di mana? Inikan masih pagi. Lagi pula, yang akan mengevakuasi para korban itu bukan dua atau tiga orang saja, banyak, Bro,” kata Teguh sambil menerima laptop yang disodorkan Arung.
“Kamu tahu sendiri orang-orang di desa seperti apa. Mereka bilang dekat saja, itu pasti masih jauh. Jadi, bayangkan kalau mereka sudah bilang 10 kilometer. Kalau perokok berat ikut mendaki ke lokasi pesawat itu, saya yakin saat batuk yang keluar bukan lagi asap tapi asbak berkarat.”
Teguh hanya tersenyum. Ia tahu Arung sedang menyindirnya. “Lupakan soal rokok dan asbak berkarat itu, baca ini.”
Teguh menunjuk berita yang baru saja diposting salah satu kantor berita nasional. Di berita itu digambarkan bagaimana suasana Bandara Sultan Hasanuddin saat ini. Sirene ambulans meraung-raung dan peti mati sudah dipersiapkan maskapai penerbangan dibantu aparat keamanan serta tim dari Palang Merah Indonesia (PMI).
Arung belum selesai membaca berita itu saat menyadari ponsel di kantongnya bergetar. Sejurus kemudian terdengar bunyi dering.
“Siapa?” tanya Teguh mencoba mengintip layar ponsel Arung dengan menjulurkan lehernya. “Sekretaris redaksi, ya?”
“Sejak tadi yang ada di pikiran kamu hanya uang penugasan.”
“Kalau bukan Sekretaris Redaksi lalu siapa? Pak Firman?”
Arung mengangguk. Setelah deringan kelima ia sudah tersambung dengan Pak Firman.
“Jadi, bagaimana rencana kalian?” tanya Pak Firman dari ujung telepon. Teguh ikut mendengar lewat speaker.
“Mobil kita tidak bisa sampai ke lokasi, Pak. Kondisi jalanannya sangat buruk setelah diguyur hujan selama berminggu-minggu,” jawab Arung.
“Memangnya jarak Ranguan dari ibu kota kabupaten berapa?”
“Sebenarnya hanya 65 kilometer, tetapi karena kondisi jalan sangat buruk, butuh waktu hingga 8 jam untuk bisa sampai ke sana.”
“Tidak apa-apa, yang penting kalian bisa sampai.”
“Nah, itu dia masalahnya, Pak. Mencari kendaraan untuk ke sana sangat susah.”
“Kok bisa begitu?”
“Hanya mobil hardtop yang bisa dipakai ke desa itu.”
“Hardtop?”
“Iya, Pak. Itu mobil yang sehari-hari melayani warga yang tinggal di pegunungan.”
“Kalau begitu, kalian naik hardtop itu saja.”
“Sepertinya sulit, Pak.”
“Kenapa? Sewanya mahal?”
“Hardtop yang biasa ke sana hanya empat unit. Sementara ada ratusan orang yang mau ke Ranguan. Jadi, pasti tidak akan cukup.”
“Wah, susah juga ya,” kata Pak Firman.
Mereka sama-sama diam. Berpikir. Sementara Teguh sesekali memotret Tim SAR yang melintas di depan mereka. Semua orang di sekitar posko saat itu tampak tergesa-gesa.
“Sebenarnya ada alternatif lain,” kata Arung beberapa saat kemudian.
“Apa?” sergah Pak Firman.
“Ojek,” jawab Arung. “Kalau menggunakan ojek kita malah bisa tiba dua jam lebih cepat.”
“Pokoknya kalian gunakan apa saja yang bisa dipakai ke sana karena berita ini sangat penting. Semua media grup kita di seluruh Indonesia sudah memesan beritanya dan harus ada nanti malam. Tapi kalian coba dulu ke terminal, siapa tahu masih ada mobil hardtop yang bisa kalian sewa. Itu lebih aman.”
“Siap, Pak!”
“Kami mengandalkan kalian. Hati-hati di perjalanan. Oke?”
“Tunggu-tunggu, Pak.”
“Ada apa, Arung?”
“Teguh ingin bertanya, Pak.”
“Ada apa, Teguh?”
“Arung cuma bercanda, Pak.”
“Serius tidak mau tahu soal transferan?”