Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #30

Makan Malam Paling Aneh

SETELAH dilakukan penyisiran dan sudah dipastikan bahwa pesawat memang benar-benar tidak jatuh di Ranguan, area pencarian langsung diperluas. Tim SAR, aparat keamanan, kelompok-kelompok pencinta alam serta warga menyisir seluruh pegunungan dan hutan di wilayah Sulbar.

Pada saat bersamaan, pencarian juga mulai dilakukan di kawasan pegunungan Sulsel. Itu setelah ada informasi bahwa radar Singapura menangkap sinyal emergency locator beacon (Elba) pesawat itu di Rantepao.

Banyaknya orang yang terlibat dalam pencarian membuat operasi SAR ini menjadi yang terbesar dalam sejarah kecelakaan transportasi di Indonesia. Sayangnya, hingga satu pekan, pencarian sama sekali tidak membuahkan hasil. Bahkan pada hari kedelapan, Badan SAR Nasional (Basarnas) mengumumkan bahwa operasi SAR di wilayah pegunungan Sulbar dan Sulsel sudah dihentikan.

Pencarian pesawat selanjutnya dialihkan ke perairan Selat Makassar. Seorang nelayan di Kabupaten Majene kabarnya sempat melihat sebuah pesawat terbang rendah pada hari pesawat itu dinyatakan hilang kontak. Waktu terbang dan ciri-ciri pesawat yang hilang persis sama seperti yang dilihat nelayan tersebut.

“Saya sudah bilang sejak awal kalau pesawat itu jatuh di laut. Tapi kamu tetap ngotot ikut pencarian di gunung. Sekarang hasilnya apa? Hanya kaki melepuh ini Arung Mario. Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu dengan kakiku.” Teguh mengoceh di kamar penginapan sambil memperlihatkan bagian bawah kakinya yang memerah.

Menumpang truk tentara, mereka tiba di Polewali satu setengah jam lalu. Sejak sampai di penginapan Teguh sudah seperti radio rusak. Ia terus menerus mengoceh. Saking berisiknya, Arung terpaksa menyingkir keluar kamar ketika Annie meneleponnya.

Arung kembali masuk ke dalam kamar setengah jam kemudian. Dan setelah mendengar suara Annie, dia siap melayani ocehan sahabatnya. “Kita ini bukan tim SAR, tapi wartawan. Tugas kita meliput pencarian pesawat. Makanya, ke mana pun tim SAR bergerak, kita harus ikut ke sana. Bukan sebaliknya, Tim SAR ke gunung kita malah pergi ke laut. Saudara Teguh paham?” ujar Arung.

“Tetap saja.”

“Tetap bagaimana?”

“Tebakan kamu salah.”

“Saya tidak pernah bilang pesawat itu jatuh di gunung.”

“Aaalla. Alasan.”

“Saya hanya ikut perintah kantor.”

“Sama saja.”

“Sama bagaimana?”

Perdebatan mereka makin sengit dan sepertinya sudah akan mengarah ke timpuk-timpukan kaos kaki. Untungnya, sebelum aksi jorok dan kekanak-kanakan itu terjadi, HP Arung berdering. Gencatan senjata. Teguh memasukkan kembali kaos kaki yang sudah ia gulung ke dalam sepatunya. Ia tampak kecewa.

“Nah, kebetulan. Sekarang kamu boleh langsung protes.”

“Siapa?”

“Sudah, dengar saja.”

Arung mengaktifkan speaker HP-nya setelah menekan tombol “Yes”.

“Bagaimana kabar kalian?” Suara Pak Firman terdengar dari ujung telepon.

“Buruk, Pak. Capek. Lelah. Letih. Lesu. Loyo. Lemas,” teriak Teguh dari belakang Arung.

Tawa Pak Firman seketika meledak. Ia maklum Teguh mengeluh. Liputan kecelakaan pesawat ini memang cukup berat. “Jadi kapan kalian kembali ke Makassar?”

“Kami hanya menunggu perintah, Pak,” jawab Arung.

“Kalian harus kembali secepatnya karena setelah sampai di sini kalian akan langsung ikut pencarian laut lagi. Kapal perang dari Surabaya sudah menunggu kalian di Lantamal. Kalau kalian sudah datang, kapal langsung berangkat ke Sulbar,” kata Pak Firman.

“Serius, Pak?” tanya Teguh dengan mata melotot.

“Kamu percaya kita berdua sepenting itu?” Arung menimpali lalu tertawa.

 

                                                           *******

 

Mereka kembali ke Makassar keesokan harinya dan tiba sekitar jam setengah sembilan malam. Awalnya, Arung berniat ingin terus ke kantornya. Namun, Annie terus merengek di telepon memintanya langsung pulang.

“Kalau kamu lebih mementingkan urusan kantor, kali ini saya benar-benar akan marah. Kamu tahu sendiri bukan bagaimana kalau saya sedang marah?”

“Bagaimana Sayang? Saya sudah lupa.”

“Saya tidak akan terlihat cantik lagi.”

“Kok bisa?”

“Iya, karena saya akan cemberut sepanjang hari. Saya juga akan pakai daster kumal selama satu minggu. Pokoknya saya pastikan kamu tidak akan suka melihat penampilanku.”

“Separah itu, kah?”

“Kalau tidak percaya, coba saja terus ke kantor.”

“Wah, kayaknya ini ancaman serius. Baiklah, saya akan langsung pulang ke rumah.”

“Begitu dong. Terima kasih suamiku sayang. Saya tunggu di rumah, ya? I love you.”

“Eh, tunggu sebentar, Annie.”

“Ada apa?”

I love you too kesayanganku,” kata Arung lalu mengakhiri percakapan sembari melirik ke arah Teguh yang duduk di kursi depan. Teguh langsung memutar badannya dengan tampang jijik seperti baru saja melihat tujuh tikus got korengan melintas di depannya. Ansar seperti biasa hanya menoleh sejenak lalu tersenyum tanpa memperlihatkan giginya.

Setengah jam kemudian Annie sudah menyambut mereka di pintu pagar dengan senyum merekah dan daster barunya.

“Ayo, kamu harus ikut makan malam bersamaku,” ajak Arung.

“Lain kali saja. Kami buru-buru.”

“Tidak usah mencari alasan. Cepat turun.”

“Kami masih harus kembali ke kantor, Arung.”

Lihat selengkapnya