SETELAH mobil menghilang di ujung lorong, Arung langsung menggandeng tangan Annie dan mengajaknya masuk kembali ke dalam rumah.
“Saya sangat merindukanmu, Sayang,” kata Arung sambil mengecup kening Annie di balik pintu dan memeluknya dengan mesra.
“Apalagi saya. Kamu hanya pergi sepuluh hari, tapi rasanya sudah seperti berbulan-bulan.”
“Jangan terlalu didramatisir, Cinta.”
“Kamu tidak percaya padaku?” Annie mendongak menatap wajah Arung yang mulai mengendurkan pelukannya.
“Sedikit ragu, sih.”
“Saya tidak berbohong, Arung Mario,” gumam Annie manja. “Kalau berpisah sepuluh hari saja rasanya sudah begitu lama, entah bagaimana kalau kamu tiba-tiba pergi meninggalkan saya.”
“Kamu pikir saya akan meninggalkan kamu?” pancing Arung.
“Siapa tahu.”
“Itu tidak akan terjadi, Sayang. Kamu adalah satu-satunya wanita dalam hidupku. Saya tidak bisa membayangkan kalau suatu hari nanti harus bangun dan bukan kamu yang ada di sampingku.”
“Sayangnya bukan itu maksud saya.”
“Lalu, kenapa harus khawatir?”
“Ya, bisa saja kan kamu ditugaskan ke Jakarta atau ke grup perusahaan di provinsi lain. Kalau pindahnya tiba-tiba, kan tidak mungkin saya bisa langsung ikut. Itu artinya kita harus berpisah, bukan?”
Arung meraih dagu Annie dan berkata, “Dengar baik-baik, sepuluh hari ini akan menjadi perpisahan terlama kita.”
“Kamu yakin ini yang terlama?”
“Itu janji saya. Saya hanya akan meninggalkan kamu lebih dari sepuluh hari kalau Tuhan yang membawaku pergi. Kalau Tuhan yang menginginkan perpisahan kita, tidak ada yang bisa saya lakukan. Saya tidak mungkin melawan takdir kematianku.”
“Hus! Kalau dicatat malaikat, saya yang akan repot.”
“Saya hanya bercanda,” kata Arung lalu kembali memeluk Annie. “Insya Allah, Tuhan akan memberi kita umur yang panjang. Kita akan tua bersama. Hanya maut yang akan memisahkan kita.”
“Saya mencintaimu, Sayang. Saya tidak akan bisa hidup tanpa dirimu.”