Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #32

Tradisi Kecup Kening dan Surat Cinta

ARUNG bangun dengan wajah kusut. Setelah membasuh mukanya, ia bergegas ke dapur. Pagi-pagi begini, Annie pasti sudah memasak di dapur dan ia harus mengecup keningnya. Itu sudah menjadi ritual wajibnya setiap pagi. Dan Annie—yang kadang lebih manja daripada putri-putrinya—tidak pernah mau mengkompromikan tradisi cinta mereka tersebut.

 Tiga tahun lalu, Arung pernah lupa mencium keningnya. Saat itu, Arung mendapat tugas liputan pagi di bandara. Karena pulang larut malam, Arung telat bangun sehingga berangkat ke bandara dengan terburu-buru. Tahu apa yang terjadi? Annie mengambek. Ia membuat dirinya terlihat sangat jelek sepanjang hari. Setiap kali Arung mendekatinya, ia menutup rapat-rapat mulutnya, lalu menggembungkan pipinya sambil melirik ke arah kaki suaminya. Coba tirukan gaya itu dan bayangkan sendiri bagaimana buruknya rupa Annie saat itu. Sulit mencari ekspresi wajah yang lebih buruk dari itu. Yang bisa menyamai mungkin hanya ekspresi wanita yang sedang sembelit. Tapi siapa juga yang mau membayangkan wajah wanita yang tengah sembelit apalagi yang sembelit saat tanggal tua.

“Wah, suami kesayanganku sudah bangun rupanya.”

“Jam berapa sekarang?” Arung membungkuk untuk mencium kening Annie. Itu ciuman pagi di kening yang ke-2.300 sekian.

“Jam sepuluh.”

“Anak-anak?”

“Itu,” kata Annie sambil menunjuk keluar lewat jendela dengan bibirnya. Aura dan Syifa sedang bermain di halaman bersama salah seorang anak tetangga mereka.

Setelah minum segelas air putih, Arung melangkah ke ruang tamu. Sambil sesekali menengok keluar mengawasi kedua putrinya, Arung memeriksa BlackBerry-nya.

“Hari ini mau ke kantor, Sayang?” Annie berteriak dari dapur.

“Rencana sih.”

“Jam berapa?”

“Sore.”

“Oh.”

Mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Annie melanjutkan pekerjaan dapurnya. Sementara Arung membaca satu persatu status BlackBerry teman-temannya.

Walaupun kejadiannya sudah sebelas hari, status teman-temannya sebagian besar masih soal kecelakaan pesawat nahas itu. Ada yang masih memasang status belasungkawa dilengkapi berbagai gambar. Yang lainnya—yang ramai sejak satu pekan lalu—status mengeritik pemerintah yang telah membuat kegaduhan dan mencoba menjadikan media sebagai kambing hitam.

Apa yang terjadi memang mengguncang dunia. Pemerintah, mulai dari pemerintah kabupaten hingga pusat sudah mengumumkan soal penemuan pesawat dengan begitu mendetil. Jumlah yang tewas. Jumlah penumpang selamat. Kondisi para korban. Hingga luka-luka mereka. Semua sangat meyakinkan dan tentu saja semua orang mempercayainya. Namun, di hari yang sama, setelah ada pernyataan warga Ranguan bahwa tidak ada pesawat yang jatuh di kampung mereka, jumpa pers bantahan bermunculan dari pejabat yang sama. Pejabat lain yang sebelumnya belum muncul di CNN, Al-Jazeera, hingga Radio London mencoba melimpahkan kesalahan kepada media yang katanya terlalu memburu rating sehingga mengabaikan akurasi. Pihak televisi yang merasa paling disudutkan mencoba membela diri dengan menyerang balik pemerintah. Selama berjam-jam, mereka terus menayangkan dua jumpa pers berbeda dari pejabat yang sama. Media seolah-olah ingin menunjukkan pada dunia internasional betapa gegabahnya pemerintah Indonesia. Dan tentu saja mereka ingin masyarakat mengetahui bahwa para awak media hanya korban dari “kebohongan” berjamaah yang dilakukan pemerintah.

Arung bergidik mengingat semua yang telah terjadi. Andai koran tempatnya bekerja dicetak sore, ia juga pasti akan menulis berita seperti yang sudah telanjur dilaporkan media elektronik dan online. Ia bahkan membayangkan dirinya pagi ini sedang membaca berita yang ditulisnya sendiri. Berita itu dilengkapi grafis besar yang menggambarkan lokasi jatuhnya pesawat, jalur evakuasi korban, dan informasi lain seperti data-data yang telah ia kumpulkan sebelum berangkat ke Ranguan.

“Benar-benar memalukan. Seluruh dunia pasti masih menertawakan kita.”

Tanpa sadar, Arung mengumpat.

“Ada apa? Siapa yang menertawakan kita, Sayang?”

Annie yang muncul dengan segelas teh di tangannya memandang Arung dengan keheranan.

“Oh, bukan kita. Maksud saya, bukan keluarga kita. Ini soal pesawat yang jatuh.”

“Pesawatnya sudah ditemukan? Syukurlah. Ditemukan di mana, Sayang?”

“Belum. Pesawat masih dicari. Bahkan kalau pesawat itu benar-benar jatuh di laut, pencariannya pasti akan lama karena Selat Makassar terkenal sangat dalam dan cuaca saat ini sangat buruk.”

“Kasihan sekali, ya?

“Iya,” ujar Arung. “Sudahlah, tidak perlu dibahas. Saya lapar, Sayang.”

“Siap, Bos! Makanan untuk Bapak Arung Mario akan tersaji di meja makan dalam lima menit ke depan. Ada perintah lain sebelum saya kembali ke dapur?”         

“Kecup daku, Honey.”

Sia-sia.

Tidak ada kecupan untuknya.

Annie sudah memutar badannya dan melangkah dengan terburu-buru ke dapur. Kecele, Arung yang sudah telanjur menjulurkan kepalanya ke arah Annie hanya bisa menepuk jidatnya. Kasihan.

Empat menit lewat 15 detik, makanan sudah tersaji di meja makan. Melihat lima ikan mujair bakar menunggunya di piring, Arung langsung berteriak memanggil kedua putrinya.

“Ayah mau makan. Siapa yang mau disuap?”

“Saya.”

“Caya Ayah.”

Aura dan Syifa berlomba masuk ke dalam rumah lalu berebut tempat duduk di dekat ayahnya. Syifa kalah cepat. Tapi tidak kehabisan akal. Dia langsung naik ke pangkuan ayahnya. Annie hanya tersenyum melihat tingkah putri-putrinya.

Saatnya makan.

“Tadi Mama menelepon,” kata Annie sambil menuangkan air minum ke gelas Arung.

“Oh, ya?”

“Anak Om Haris akan menikah dan Mama memanggil saya pulang. Sepertinya dia rindu pada cucu-cucunya.”

“Kapan pestanya?”

“Sebenarnya hari Kamis. Tapi saya rencana pulang Senin besok.”

Lihat selengkapnya