Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #33

Siang Memilukan

SUARA Iwan Fals membangunkan Arung persis saat Annie akan mengecup keningnya. Tadinya ia mencoba mengabaikan suara serak legenda musik Indonesia itu. Selain memang masih mengantuk, ia juga merasa benar-benar sangat capek. Belum habis lelah yang ia bawa dari Sulbar, sepanjang hari kemarin ia sudah kembali bekerja seolah tidak ada lagi hari esok.

Tetapi nada dering tersebut terus mengganggunya.

Salahnya sendiri. Saat akan tidur subuh tadi, ia meletakkan HP- nya persis di samping bantal. Itu kebiasaannya sejak mulai bekerja sebagai wartawan. Alasannya, perintah liputan bisa datang kapan pun sehingga HP tidak boleh jauh apalagi sampai dimatikan. Annie pernah protes karena menganggap itu terlalu berlebihan. Katanya, presiden saja yang mengurus negara dan 249 juta penduduknya tidak mengaktifkan HP mereka 24 jam apalagi sampai membawanya “tidur” di ranjang bersama istrinya.

Dengan malas, Arung meraih HP-nya. Ia berpikir mungkin ada peristiwa penting sehingga si penelepon terus-menerus menghubunginya. Sebab, ia yakin bukan Annie yang sedang meneleponnya. Bukan kebiasaan istrinya menelepon sepagi ini saat sedang pulang kampung.

Setelah mengucek matanya, Arung langsung mengeluh panjang.

“TEGUH” muncul di layar HP-nya.  

“Ada apa, Teguh?” ketus Arung tanpa gairah mengobrol. “Ini masih terlalu pagi, Kawan. Dokter akan memarahiku kalau tahu saya bangun secepat ini.”

“Sebaiknya bangun dan lihat jam baik-baik. Ini sudah siang, Kawan. Tidak baik anak gadis tidur pagi. Jodohnya akan jauh. Kamu mau jadi perawan tua?”

“Kalau saya anak gadis, berarti kamu pria penggoda.”

“Apa agenda liputan pagi ini, Kawan?” Teguh mengalihkan pembicaraan.

Arung tersenyum. Basa-basi basi. Ia yakin sebelum obrolan tentang liputan ini selesai,

Teguh akan mengajaknya ke Phoenam—sebuah kedai kopi di bilangan Jl. Boulevard yang seperti punya manget seukuran rumah tipe 28 sehingga Teguh rela menghabiskan hampir separuh gajinya di sana tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Tapi memang, kopi atau apa pun yang keluar dari dapur Phoenam rasanya pasti sangat enak. Berkunjunglah ke sana kalau tidak percaya.

“Saya tidak punya liputan pagi. Tadi malam saya sudah meliput untuk rubrik laporan khusus, sekarang tinggal ketik saja,” kata Arung lalu menguap panjang. Ia berharap Teguh mendengarnya dan segera mengakhiri obrolan tak penting mereka.

Namun, Teguh sepertinya tidak peduli. Ia kembali bertanya,“Liputan malam apa?”

“Liputan buah impor,” jawab Arung.

“Buah yang mana?”

“Ya, buah impor. Kalau buah impor ya, pasti dari luar negeri.”

“Anak SD juga tahu. Maksud saya, buah impor yang mana? Kamu tahu sendiri kan negeri kita ini negeri pengimpor. Apa-apa diimpor. Buah yang di mal, ya? Wah, mal apa di kota ini yang buka sampai larut malam?”

“Sok tahu.”

“Kalau begitu jelaskan.”

“Yang di pinggir jalan.”

“Oh, bilang kek dari tadi.”

“Makanya, kalau bertanya satu-satu.”

“Tapi iya juga sih. Penjual buah di pinggir jalan sepertinya memang sudah sangat ramai. Beberapa ruas jalan sekarang sudah seperti pasar dadakan. Setiap sore, macet,” gumam Teguh.

“Ini bukan soal macet, tapi ada apel impor yang masuk ke Makassar yang diduga terkontaminasi bakteri listeria monocytogenes.”

“Ada tidak nama yang bisa lebih gampang dipahami? Atau langsung jelaskan saja, itu bakteri apa?”

“Agak susah menjelaskannya. Intinya, bakteri ini sangat berbahaya kalau masuk ke dalam tubuh manusia,” jelas Arung.

“Sepertinya menarik,” ujar Teguh seolah ingin meyakinkan Arung bahwa ia tertarik ingin tahu lebih banyak tentang apel berbahaya tersebut.

Dan Arung, kalau sudah membahas soal liputan, ia akan langsung lupa kredit rumahnya. Ia benar-benar mencintai profesinya dan selalu bergairah membicarakan apa pun terkait jurnalisme.

“I‎​​ni memang liputan menarik, namun sampelnya masih harus diperiksa di laboratorium untuk memastikan apel-apel itu memang mengandung bakteri berbahaya tersebut atau tidak. Tapi kalau informasi awal dari pegawai BPOM, sudah jelas ....”

“Kawan.” Teguh menyela.

“Apa?”

“Dari pada membahas apel impor berbahaya itu, lebih baik kamu ke sini. Saya di Phoenam sekarang. Dan saya sendirian di kursi bundar.”

Nah, benar, kan? Ujung-ujungnya Phoenam.

“Saya masih mengantuk.”

“Ayolah, segelas kopi susu spesial Phoenam pasti akan menghilangkan kantukmu.” 

“Serius, saya benar-benar mengantuk. Begini saja, kita ketemu di sana nanti siang? Dari rumah saya langsung ke Phoenam. Atau kalau saya agak telat ke luar, kita ketemu di Phoenam jam empat sore. Bagaimana? Setuju, oke? Tidak? Terserah. Saya mau tidur lagi.”

“Tunggu dulu, Sobat. Jangan langsung main kabur begitu.”

“Ada apa lagi?”

“Kamu juga bisa tidur di sini setelah minum segelas kopi.”

“Saya tidak minum kopi.”

“Oh, sorry saya lupa kalau kamu ternyata ‘manusia teh’. Tapi kamu ke sini saja, Kawan. Roti goreng telur kornet keju Phoenam hari ini rasanya enak sekali. Selain itu, ada warung soto banjar yang baru buka hari ini di samping Phoenam. Rasanya lezat luar biasa. Serius. Tadi saya sarapan di situ. Kalau sudah mencobanya sekali, saya yakin kamu pasti akan ketagihan. Kuahnya saja terlihat sudah sangat menggoda. Sekarang mandilah. Saya tunggu di sini. Oke?” desak Teguh.

“Hanya Annie yang bisa menggodaku kalau lagi mengantuk seperti ini. Jadi, sudahlah.”

“Sudah apa?”

“Berhenti menggangguku, saya mau tidur,” ketus Arung.

“Baiklah, baiklah, silakan lanjutkan tidurmu. Nanti sore kita ketemu di Phoenam. Jangan lupa.”

“Iya. Saya akan datang.”

“Bukan itu.”

“Terus, apa?”

“Jangan lupa setel jam weker.”

“Untuk?”

“Ya, siapa tahu tidurmu keterusan.”

Lihat selengkapnya