Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #34

Tuhan, Jangan Ambil Nyawaku

TEGUH meraih BlackBerry-nya yang tergeletak di atas meja setelah mendengar bunyi nada pesan masuk. Segera setelah membaca BBM tersebut, ia langsung tersenyum.

Arung di UGD?

Ada-ada saja. Tidak mungkin, pikirnya.

Arung pasti ingin balas mengerjainya karena tadi pagi ia sudah mengganggunya. Teguh membayangkan sahabatnya saat ini sedang tidur pulas di rumahnya. Mendengkur. Mengiler. Mengigau. Dan dia tidak akan bisa menipunya dengan BBM seperti itu. Terlalu gampang ditebak, katanya dalam hati.

“Penipu ingin kamu tipu? Kasihan kamu, Arung. Kamu harus berguru lebih banyak lagi agar aktingmu bisa benar-benar sempurna.” Teguh mengoceh. Kali ini ia tidak bisa lagi menahan tawanya.

Teguh baru saja akan menaruh kembali BlackBerry-nya di meja dengan senyum licik dan mengejek saat ia melihat perubahan status Arung. Di status barunya yang diubah beberapa detik lalu Arung menulis, “TUHAN, JANGAN AMBIL NYAWAKU”.

Raut wajah Teguh seketika berubah. Ia tahu status BlackBerry seperti itu tidak mungkin dipasang untuk sekadar main-main. Apalagi kalau tujuan Arung hanya untuk balas mengganggunya. Arung berteman dengan banyak tokoh dan pejabat di BlackBerry. Status apa pun yang ia tulis, pasti akan dibaca semua temannya. Jadi, rasanya mustahil ia akan bercanda berlebihan seperti itu.

Makanya, Teguh langsung mengambil telepon genggamnya di atas meja. Ia ingin memastikan kondisi sahabatnya.

“Halo, Arung!”

Teguh setengah berteriak ketika panggilannya tersambung. Wajahnya yang tadi tampak khawatir berubah menjadi sumringah. Sial, umpatnya.  

“Hei, Arung Mario! Tadi pagi saya hanya mengajakmu ke Phoenam. Harusnya kamu berterima kasih, karena saya mau mentraktir kamu. Bukan malah membalasku dengan cara seperti ini,” Teguh tertawa. “Tapi serius, kamu berhasil membuatku khawatir, Kawan. Saya pikir kamu benar-benar di rumah sakit dan sudah hampir mampus, ternyata, puih! Awas, lain kali saya akan balas. Tunggulah, kamu pasti akan saya ....”

“Saya Ayul, Kak. Adi ipar Kak Arung.”

Jantung Teguh seperti akan copot. Mimik wajahnya seketika berubah tegang lagi. BBM itu ternyata serius. Sesuatu yang buruk telah menimpa sahabatnya.

“Oh, saya Teguh, teman sekantor Arung. Arung mengirimi saya BBM katanya ia sekarang di rumah sakit, apa benar?” tanya Teguh.

“Iya. Kak Arung sekarang memang di UGD,” jawab Ayul.

“Apa yang terjadi? Apakah dia kecelakaan?”

“Bukan kecelakaan, Kak. Ia tiba-tiba sakit di rumahnya.”

“Sakit?” Tanya Teguh. Ia seperti kurang yakin dengan jawaban Ayul. 

“Iya, Kak.”

“Terus, kondisinya bagaimana?”

“Saya belum tahu, Kak. Sekarang ini Kak Arung tidak sadarkan diri dan dokter sedang memasang alat bantu pernapasan,” jelas Ayul.

“Alat bantu pernapasan?” Teguh semakin cemas. “Lalu, apa kata dokter?” 

“Saya baru sempat berbicara dengan perawat.”

“Mereka bilang apa?”

“Katanya Kak Arung kritis,” ucap Ayul.

“Kritis? Astaghfirullah. Tunggu saya di situ Ayul. Sekarang juga saya akan ke rumah sakit.”

“Iya, Kak.”

Teguh memutus sambungan telepon lalu menyambar tas serta jaketnya yang ia sampirkan di sandaran kursi. Setelah itu ia berlari ke tempat parkir tanpa mempedulikan lagi teriakan beberapa temannya yang terkejut melihatnya meninggalkan kantin dengan terburu-buru. Tak sampai satu menit Teguh sudah melesat dengan motornya menyusuri Jl. Urip Sumoharjo menuju ke arah Tamalanrea.

Dua puluh menit berikutnya, Teguh sudah berdiri di pintu masuk UGD. Lewat celah pintu yang sedikit terbuka, ia bisa melihat Arung sedang dikerumuni beberapa dokter dan perawat.

“Kak Teguh? Temannya, Kak Arung?” Ayul menyapa sambil menjulurkan tangannya untuk salaman setelah melihat Id Card yang menggantung di depan dada Teguh.

“Ayul, ya? Mana Annie?”

Mata Teguh mencari ke sekeliling ruang UGD. Sejak tiba di rumah sakit ia tidak melihat Annie. Ia juga sempat heran bukan Annie yang memegang HP suaminya.

“Kak Annie masih dalam perjalanan dari kampung ke sini. Mungkin setengah jam lagi dia akan tiba,” jawab Ayul.

“Tadi pagi kami masih mengobrol lewat telepon. Malah kami berbicara cukup lama. Rasanya sangat tidak masuk akal Arung sekarang dalam kondisi kritis,” gumam Teguh sambil terus mengintip masuk ke UGD.

“Saya juga kaget ketika Kak Annie tiba-tiba menelepon dari kampung dan meminta saya ke rumahnya. Saat sampai di sana, Kak Arung sudah berdiri di luar rumah. Ia kelihatan pucat dan tidak bisa lagi berjalan,” jelas Ayul.

“Keluarga Arung Mario!”

Seorang dokter berteriak di tengah-tengah ruang UGD mengakhiri obrolan Teguh dan Ayul.

“Saya temannya, Pak, dan ini adik iparnya.” Teguh melapor pada security yang langsung mempersilakan mereka masuk menemui dokter yang baru saja berteriak.

“Saya teman kantor Arung, Dok,” kata Teguh ketika sudah berdiri di samping ranjang. Sambil memperkenalkan diri, ia melirik ke arah Arung yang sama sekali tidak bergerak. Mulut, dada serta jari tangannya telah dipasangi alat-alat medis.

“Pasien membutuhkan obat yang harus dibeli sekarang. Ini resepnya. Tolong usahakan secepatnya.” Dokter yang tadi berteriak, dengan papan nama bertuliskan “dr Rudy Sultan Loly” menyerahkan selembar resep kepada Teguh.

“Kamu tunggu di sini, Ayul. Biar saya yang ke apotek.”

Tanpa bertanya lagi kepada dokter, Teguh langsung ke apotek yang ada di belakang ruang UGD. Tak sampai satu menit ia sudah sampai di apotek dan langsung menerobos antrean.

“Tolong, Bu, teman saya sedang kritis dan butuh obat ini secepatnya,” kata Teguh seraya menyodorkan resep yang dipegangnya melewati bahu tiga keluarga pasien yang mengantre dengan tertib. Awalnya, beberapa keluarga pasien menatap Teguh dengan jengkel. Namun, setelah mendengar kata “kritis”, mereka langsung memberi jalan agar Teguh bisa mendekati loket pelayanan.

“Tunggu sebentar ya, Pak,” kata pegawai apotek itu dari kursinya setelah menerima resep yang disodorkan Teguh. Pegawai itu membaca sejenak tulisan di resep lalu berdiri dari tempat duduknya. Sejurus kemudian ia sudah menghilang di balik lemari penyimpanan obat yang ada di tengah-tengah ruangan tersebut. 

Pegawai apotek berkacamata minus yang melayani Teguh muncul kembali dari balik lemari beberapa detik kemudian. Teguh yang menunggu di depan loket langsung mengeluarkan dompetnya.

“Berapa harganya, Bu?” tanya Teguh menyambut pegawai apotek tersebut.

Lihat selengkapnya