SUDAH jam dua belas malam. Tetapi, Arung yang sejak petang telah dipindahkan ke ruang ICU belum juga sadar. Padahal, beberapa menit lalu perawat sudah memasukkan cairan gamamune ketiga.
Sekarang, sudah hampir sepuluh jam Arung membuat orang-orang yang mencintainya cemas dan menangis. Bahkan Annie tidak yakin masih akan punya air mata keesokan harinya. Semuanya sudah tertumpah sejak ia mendapati suaminya di UGD. Silih berganti keluarga serta teman Arung mencoba menghiburnya, tapi tidak satu pun yang bisa membuatnya tenang.
Annie benar-benar takut. Kata-kata Arung siang tadi terus terngiang di telinganya. Dia takut suaminya benar-benar tidak akan pernah lagi melihatnya. Pikiran-pikiran buruk itu membuat Annie tak ingin menjauh dari sisi Arung. Sudah tiga kali mamanya meminta dia beristirahat, tapi Annie sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Annie berharap menjadi orang pertama yang akan dilihat Arung ketika ia membuka matanya.
“Bertahanlah, Sayang. Jangan menyerah. Ingat janjimu padaku. Kamu bilang akan tua bersamaku, kan? Berjuanglah demi anak-anak kita. Mereka masih sangat membutuhkan kamu.” Annie berbisik di telinga Arung. Dia yakin suaminya saat ini sedang berjuang untuk hidup dan butuh seseorang untuk membuatnya tetap kuat.
Satu jam berlalu kembali.
Belum juga ada tanda-tanda Arung akan sadarkan diri. Mata Annie kembali berkaca-kaca. Seluruh pikiran buruk menguasai kepalanya tanpa celah sedikit pun untuk hal-hal baik. Annie khawatir Arung benar-benar akan meninggalkan dia untuk selamanya.
Bagaimana dia akan hidup kalau Arung yang begitu mencintainya tidak ada lagi di sisinya? Arung adalah hidupnya, nyawanya, hembusan napasnya, segalanya. Membayangkan masa depannya tanpa Arung, Annie semakin dikungkung perasaan takut.
Setengah jam berlalu lagi.
Arung masih tergolek seolah tanpa nyawa. Tubuh itu seperti bukan tubuh Arung yang selama ini begitu kuat di mata Annie.
Sambil terus berdoa, Annie merebahkan kepalanya di atas lengan suaminya. Dia berharap tangan itu akan bergerak dan mengelus kepalanya seperti yang biasa Arung lakukan saat mereka sedang berduaan.
Mungkin karena sudah sangat kelelahan, lima menit kemudian Annie tertidur. Perawat dan dokter sempat ingin membangunkannya. Tapi ketika melihat gurat kesedihan di wajah Annie yang tidur sambil menggenggam tangan suaminya, mereka menjadi iba dan tidak tega mengganggunya.
Annie baru terbangun saat dia merasakan ada gerakan pelan di bawah kepalanya yang disusul erangan. Suara erangan itu timbul-tenggelam dan sangat pelan. Awalnya Annie sempat berpikir kalau dia sedang bermimpi. Namun, setelah beberapa detik, suara itu makin jelas ditangkap telinganya.
Inilah kali pertama Arung memberi respons hidup. Dan Annie seolah lupa kalau dia sedang berada di ICU. Setelah yakin suara erangan itu keluar dari bibir Arung, dia langsung berlari ke ruang dokter untuk melaporkan kondisi suaminya.
“Suster, Dokter! Suami saya sudah siuman.” Annie setengah berteriak di pintu. Setelah itu, dia buru-buru kembali ke ranjang Arung. Dokter bersama dua perawat mengikutinya dari belakang.
Saat dokter baru mulai memeriksa Arung, Annie sudah langsung bertanya. Ia tampak tidak sabar ingin segera mengetahui kondisi suaminya. “Bagaimana keadaan suami saya, Dok? Ia baik-baik saja, kan? Suami saya akan sembuh kan, Dok?”
“Sabar dulu ya, Bu. Biar dokter memeriksa suami Ibu terlebih dahulu,” ujar salah satu perawat sembari menepuk-nepuk bahu Annie. “Suami Ibu pasti akan sembuh.”
“Apakah suami saya sudah melewati masa kritisnya, Dok? Dia akan sembuh kan, Dok?”
Annie mengabaikan kata-kata perawat itu dan terus bertanya. Dia seperti tak yakin kalau tidak mendengar langsung jawaban itu dari mulut dokter.
“Ibu tenang dulu, ya,” kata dokter itu dengan ramah.
Erangan Arung terdengar semakin jelas. Kelopak matanya juga perlahan mulai bergerak-gerak. Arung terlihat berusaha membuka matanya. Beberapa kali ia mencoba, tetapi selalu gagal. Kelopak matanya hanya sebatas berkedip-kedip saja.
“Buka matamu, Sayang. Kamu pasti bisa.”
Annie menggenggam jemari Arung dan mengguncang-guncangnya.
“Suami Ibu akan baik-baik saja. Lihat saja, dia sudah sadar,” bisik perawat lainnya yang juga berdiri di samping Annie.
Dan benar saja, setelah mencoba beberapa kali, Arung akhirnya bisa membuka matanya.
“Syukurlah kamu sudah siuman. Ini saya, saya di sini, Sayang.”
Annie begitu gembira. Setelah lebih dari sebelas jam, Arung akhirnya membuka matanya. Arung sudah kembali untuknya. Suaminya sudah melewati masa kritisnya.
“Terima kasih, ya Allah, terima kasih, terima kasih.”
“Saya ada di mana?” tanya Arung tampak kebingungan. Bola matanya berputar menyapu seluruh ruangan. Ia tidak ingat apa pun. Pandangannya juga masih samar-samar.
“Bapak sekarang di ruang ICU,” jawab dokter.
“ICU?”
Arung memicingkan mata. Ingatannya belum sepenuhnya pulih dan mendengar dokter menyebut “ICU” ia sedikit terkejut. Beberapa tahun lalu dia pernah berada di tempat ini dan itu pengalaman yang menakutkan. ICU seperti sebuah ruangan di mana hidup dan mati hanya disekat kain tipis tembus pandang. Kematian bisa menjemput kapan saja tanpa bisa dicegah siapa pun.
“Sejak siang Pak Arung tidak sadarkan diri.”
Arung masih berusaha mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi ketika dia tiba-tiba meringis dan menggigit bibir bawahnya. “Aduh. Aduh.”
“Ada apa, Pak?”
“Sakit, Dok.”
“Apanya yang sakit?”