SEGERA setelah salat subuh di masjid rumah sakit, Annie langsung kembali ke ruang ICU. Meski baru berpisah sekitar tiga jam, dia benar-benar sudah sangat rindu ingin bertemu Arung.
Sumpah. Serius. Demi Tuhan. Ia memang sangat merindukan suaminya. Jangankan tiga jam, Annie bahkan bisa langsung rindu pada Arung hanya semenit setelah suara motor suaminya menghilang di ujung lorong kompleks rumah mereka.
Saat tiba di ICU, Annie mendapati Arung sedang mengobrol dengan seorang perawat wanita. Sesekali Arung terlihat tertawa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan sehingga Arung sampai tertawa seperti itu. Yang pasti, Annie yakin suaminya tidak sedang berusaha menggoda perawat cantik itu. Annie selalu percaya kalau dirinya adalah wanita paling cantik di mata Arung.
Untuk beberapa saat, Annie hanya berdiri di pintu sambil tersenyum. Sungguh pemandangan aneh, pikirnya. Beberapa jam lalu, Arung masih tergolek lemas di tempat tidur. Selama belasan jam, Arung bahkan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau ia akan tetap bertahan hidup hingga subuh ini. Tapi sekarang, Arung sudah terlihat sangat sehat. Seandainya tidak sedang berbaring di ranjang pasien, Annie yakin tidak akan ada yang percaya kalau Arung baru saja melewati masa kritisnya.
Tiga menit berdiri di pintu, Annie sudah tak bisa lagi menahan dirinya. Rindu mendorongnya bergegas menghampiri Arung. Awalnya, Annie berjalan mengendap-endap ke arah ranjang. Rencananya dia ingin mengejutkan suaminya dengan muncul tiba-tiba di hadapannya. Namun, setelah Arung menelengkan kepala ke arahnya dan mereka beradu pandang, Annie langsung menghambur seperti anak panah yang terlepas dari busurnya.
Tangisan Annie pecah di pelukan Arung. Dia terharu. Dia bahagia. Sang Khalik penentu segala takdir sudah “mengembalikan” suaminya.
Si perawat cantik buru-buru pergi meninggalkan mereka.
“Kenapa menangis, Sayang? Perawat itu tetangga Nahar, teman KKN saya.”
“Saya bukan menangis karena perawat itu, Arung Mario.”
“Lalu?”
“Kamu sudah membuatku khawatir,” bisik Annie. Tangannya merangkul erat leher Arung seolah ingin mempertegas statusnya kepada siapa pun yang melihat mereka.
“Tapi kenapa kamu harus khawatir?”
“Wah, kamu bertanya kenapa?” Annie melepaskan pelukannya lalu mundur dua langkah sambil memasang wajah sewot. “Istri mana di dunia ini yang tidak khawatir melihat suaminya tergolek lemas seperti tak bernyawa selama berjam-jam? Tadi malam, saat melihat kamu tak bergerak lagi, langit seperti runtuh di atas kepalaku.”
“Ah, itu hanya akting, Sayang.”
“Akting?” Level sewot Annie naik dua tingkat.
“Ya, akting.”
“Saya serius, Arung Mario. Kalau kamu sampai meninggalkanku, saya juga pasti akan mati. Kamu adalah hidupku, nyawaku ....”
“.... hembusan napasku, segalanya bagiku.” Arung menyambung kalimat yang selalu dikatakan Annie kepadanya lalu tertawa.
“Kamu mau saya berteriak di sini?”
“Jangan, Sayang. Kita akan diusir dari ICU kalau kamu berteriak.”
“Makanya, kalau istri sedang bicara serius jangan diledek.” Annie mengoceh kemudian kembali mendekat ke ranjang. “Kalau kamu benar-benar meninggal dunia, bagaimana?”
“Saya kan sudah bilang, saya tidak akan meninggalkan kamu, Sayang. Kamu harus percaya itu. Kita ini sepasang hati dan saya akan selalu berada di sisimu. Sekarang berhentilah menangis. Kamu terlihat jelek dengan air mata itu.”
“Saya takut kehilangan kamu,” ujar Annie sembari mengusap air matanya dengan ujung lengan bajunya.
“Saya juga menyayangimu, Sayang. Sampai kapan pun saya akan selalu menyayangimu. Saya akan selalu ada untukmu dan mencintaimu seumur hidupku. Sini, kemarikan tanganmu.”
“Untuk apa?”
Arung meraih tangan Annie tanpa merasa perlu menjawab pertanyaannya. Setelah itu ia menciumnya berulang-ulang dengan lembut.
Siapa sebenarnya yang rindu?
“Hentikan, Sayang. Malu dilihat orang. Sembuhlah cepat. Di rumah kamu bisa menciumku sepuasmu.”
Annie menarik tangannya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada orang yang melihat mereka. Namun, ternyata sepasang mata sudah memperhatikan mereka sejak tadi. Si Perawat Cantik. Dia tersenyum dari kejauhan.
*******
“Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Annie setelah mengambil kursi di sudut ruangan dan duduk di samping ranjang.
Masih sulit baginya untuk percaya kalau pagi ini mereka sedang berada di rumah sakit, apalagi di ruang pasien gawat bernama ICU. Selain meninggalkan Arung dalam keadaan segar bugar, dia juga sama sekali tidak pernah mendapat firasat buruk.
“Entahlah. Saya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja saya merasa tubuh saya sangat lemah. Untung saja kamu menelepon Ayul. Kalau Ayul tidak datang tepat waktu, mungkin sekarang saya sudah tidak ada di sini,” jawab Arung.
Arung menceritakan semua kejadian yang terjadi kepada Annie. Ia tak melewatkan satu pun momen. Mulai dari telepon Teguh, bagaimana ia mendadak merasa tidak nyaman saat sedang makan, perasaan putus asanya, rasa sakit yang ia rasakan, hingga akhirnya ia sampai di rumah sakit.
“Awalnya tidak ada yang percaya kalau saya sakit parah.”
“Kok bisa?”
“Karena saya masih bisa berkomunikasi dengan baik. Dokter dan perawat baru panik saat melihat saya mulai kesulitan bernapas.”
Annie juga menceritakan apa yang terjadi selama belasan jam saat Arung tidak sadarkan diri. Tak ketinggalan cerita lucu soal Teguh di apotek.
“Serius dua belas juta?”