“WAJAHMU tidak perlu sedih begitu, Kawan. Annie hanya pergi satu jam, bukan satu bulan. Sebelum magrib, dia pasti sudah kembali lagi ke sini. Sudah, berhenti bersedih. Tampang preman kok berhati Hello Kitty.”
Teguh mengoceh sendiri sambil duduk di bibir ranjang. Ia datang lima menit lalu persis saat Annie baru akan keluar. Katanya ada penugasan untuk mengambil beberapa foto di Terminal Daya. Karena sudah beberapa hari tidak datang membesuk Arung, jadi ia putuskan untuk sekalian singgah ke rumah sakit.
“Ada apa sih?” Tidak digubris, Teguh kembali bertanya. “Ayolah, Kawan. Annie hanya keluar untuk belanja dan pulangnya pasti tidak akan lama. Lagipula masih ada saya. Kalau Annie lama, saya akan menemani kamu di sini sampai dia pulang. Berhenti bersedih. Wajah kok mendung. Yang mendung itu hanya langit. Kamu tidak pantas ....”
“Dokter sudah tahu penyakitku, Kawan,” potong Arung.
“Oh, ya? Itu kabar bagus,” ujar Teguh sedikit terkejut. “Lalu?”
“Lalu, apa?”
“Ya, maksud saya, kamu sakit apa?”
“Saya terserang Meylitis Transversa.”
“Apa?”
“Me-y-li-tis Trans-ver-sa.”
“Wah, penyakit apa lagi itu?”
“Peradangan.”
“Kalau radang berarti tidak parah dong,” kata Teguh tampak senang.
“Ini bukan seperti radang tenggorokan yang sudah bisa sembuh hanya dengan berkumur air garam hangat atau air perasan lemon. Ini peradangan di sumsum tulang belakang. Penyakit yang sangat langka.”
Arung menjelaskan bagaimana sulitnya pengobatan Meylitis Transversa. “Pengobatan pasien berbeda-beda sesuai penyebab dan kerusakan yang terjadi. Tapi pengobatan awal dan umum adalah dengan infus steroid dosis tinggi. Dari yang saya baca di situs National Institute of Neurological Disorders and Stroke, untuk yang akut seperti saya, cara pengobatannya dengan Plasma Exchage Theraphy (Plasmapheresis). Juga bisa dengan Intravenous Imunoglobulin (IVIG). Namun, saya dengar Plasmapheresis atau PLEX dan IVIG biayanya sangat mahal. Bisa sampai 200 juta. Kalau semahal itu, saya angkat tangan,” ujar Arung.
“Kamu serius, Arung?”
Arung mengangguk. “Makanya saya tidak yakin masih bisa sembuh. Mungkin sekarang saya sudah harus siap-siap mengajukan surat permintaan pensiun dini ke kantor. Saya sudah ‘selesai’ dan tidak mungkin bisa bekerja lagi, Kawan.”
Teguh yang pada dasarnya adalah tipikal orang yang suka bercanda seketika tampak serius. Sebagai sahabat, ia mengenal Arung luar dalam. Penyakit Arung pasti memang sangat parah.
“Jangan putus asa seperti itu, Kawan. Kamu punya tiga anak dan ada Annie yang sangat mencintaimu. Kamu harus menjaga semangatmu dan terus berjuang untuk mereka. Saya yakin kok kamu akan sembuh dan pulih seperti sediakala. Keajaiban itu selalu ada Saudaraku. Saat ini, yang perlu kamu lakukan hanya terus berusaha dan berdoa. Yakinlah suatu saat nanti kamu pasti akan sembuh. Ingat kan kisah Wilma Rudolph yang saya ceritakan beberapa hari lalu?”
Wilma Rudolph adalah warga Amerika Serikat yang sejak usia empat tahun menderita radang paruparu, demam tinggi dan akhirnya berujung polio. Karena penyakit itu, Wilma lumpuh. Dokter yang menganganinya sudah memvonis Wilma akan lumpuh selamanya setelah kakinya mulai mengecil dan tak bereaksi apapun saat disentuh atau ketika coba digerakkan. Namun Wilma tidak pernah patah semangat. Dia punya keyakinan akan menjadi wanita tercepat dunia di lintasan lari. Ribuan kali dia terjatuh saat mencoba berdiri. Tapi Wilma terus berusaha untuk berdiri. Setiap hari ia berjuang. Sejarah kemudian mencatat, pada Olimpiade tahun 1960, Wilma Glodean Rudolph memenangkan medali emas di lintasan lari 100 meter, 200 meter dan estafet 400 meter.
“Kamu hanya perlu seperti Wilma karena kamu juga orang yang kuat, Kawan. Kamu pasti akan sembuh. Kita pasti akan ngopi dan ngeteh bareng lagi di Phoenam,” kata Teguh berusaha menghibur Arung kembali.
Sebulan lebih di rumah sakit, Arung memang sudah memperlihatkan betapa tegarnya dia. Dan kabar terakhir soal penyakitnya menurut Teguh tidak harus membunuh kepercayaan dirinya. Teguh yakin Arung bisa seperti Wilma atau pasien lainnya yang sudah divonis “selesai” namun berhasil membuat keajaiban dengan semua usaha dan kerja keras mereka.