“ADA apa, Sayang?”
Arung berbisik sambil membelai rambut Annie. Sejak tadi Annie tak bicara sepatah kata pun.
“Apa yang kamu pikirkan?” Arung kembali bertanya karena merasa Annie tidak mengacuhkannya. Namun, istrinya tetap membisu. Annie hanya menoleh sejenak, menatap matanya, lalu pandangannya kembali ke langit-langit kamar. Wajahnya terlihat sedih.
“Ayolah, Sayang. Bicaralah,” desak Arung. Kali ini ia mulai mengguncang-guncang bahu Annie.
“Kamu dengar itu?”
Arung tampak bingung karena tidak mengerti. Matanya menyipit saat telinganya mencoba menangkap suara yang dimaksud Annie. “Ada apa?”
“Mereka akan pulang besok.”
Annie tiba-tiba menutup wajahnya. Setelah itu dia mulai terisak.
Tadinya, setelah mengetahui vonis dokter soal penyakit Arung, Annie sudah ikhlas. Dia menerima kenyataan pahit itu sebagai takdirnya. Tetapi, mendengar obrolan pasien sekamar mereka, ia mendadak merasa sedih lagi dan kembali mempertanyakan nasib buruknya pada Tuhan.
Pasien sekamar mereka adalah pasangan muda yang baru menikah lima bulan lalu. Sang suami yang seorang guru SMA lima hari lalu dilarikan ke UGD karena mengalami gangguan pencernaan. Setelah diperiksa tadi siang, dokter mengatakan kondisinya sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Setengah jam lalu, setelah memadamkan lampu kamar, mereka mengobrol dengan bahagia. Sesekali sang istri terdengar tertawa dan merajuk manja seolah-olah mereka saat ini sedang berbulan madu di kamar hotel. Itulah yang membuat Annie sedih dan akhirnya tak kuasa lagi membendung air matanya. Dia iri. Mereka hanya lima hari dirawat di rumah sakit dan sudah sembuh. Enam pasien sekamar mereka sebelumnya juga demikian. Tidak satu pun yang dirawat lebih dari sepekan. Sekarang Annie benar-benar merasa Tuhan tidak adil pada keluarganya.
“Bukankah kita juga akan pulang besok, Sayang?”
“Tapi mereka pulang karena memang sudah sembuh, sementara kita, kamu ....” Annie tidak melanjutkan kalimatnya. Itu seperti pisau bermata dua. Satu sisi mengiris hatinya dan sisi lainnya melukai Arung. “Maafkan saya. Saya tidak bermaksud membuatmu sedih.”
“Tidak apa-apa. Saya mengerti ini memang sulit, Sayang,” ujar Arung lalu menghapus air mata Annie dan mencium pipinya yang masih basah oleh sisa-sisa air mata. “Tidurlah. Sekarang sudah tengah malam.”
Annie mengangguk kemudian bangun dan turun dari ranjang. Tak lama setelah suara dengkuran suami istri pasien sekamar mereka terdengar, Annie juga sudah terlelap di atas matras yang ia gelar di samping ranjang.
Sore tadi, mereka sudah memutuskan keluar dari rumah sakit besok siang. Itu keputusan yang sangat berat. Selama 50 hari dirawat di rumah sakit, Arung sama sekali belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. Jangankan menggerakkan kakinya, sekadar duduk saja Annie harus memeluknya dari belakang agar ia tidak terjatuh. Pinggulnya seperti tidak punya kekuatan menyanggah bobot tubuhnya yang bertambah beberapa kilo satu bulan terakhir.
Namun, mereka memang sudah tidak punya pilihan lain selain pulang. Penyembuhan pasien Meylitis Transversa akut seperti dirinya membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Itu pun beruntung kalau masih bisa sembuh sebab ia sendiri tidak terlalu yakin saat ini. Makanya, Arung berpikir tidak ada lagi gunanya terus bertahan di rumah sakit. Ia dan Annie harus bisa menerima kenyataan. Pulang. Dan malam ini akan menjadi malam terakhir mereka di ruang perawatan Palm 2B.
Arung menatap lurus ke arah dinding kamar perawatannya dengan wajah sendu. Ia kini berada di jalan buntu yang gelap dengan tembok tebal di sekelilingnya. Ia dan keluarganya mungkin tidak akan bisa lagi menembus dinding tebal penderitaan itu. Yang menunggu mereka di luar sana hanya rangkaian kisah-kisah menyedihkan.
Besok, setelah meninggalkan rumah sakit, tidak akan ada lagi dokter yang akan memeriksanya. Dokter memang tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Namun, bagaimanapun mereka adalah pemberi harapan untuk pasien seperti dirinya. Meski tidak menyentuhnya sekalipun, ketika mereka muncul, Arung merasa masih punya peluang untuk sembuh. Saat melihat dokter, Arung merasa tidak harus pasrah pada nasib buruknya seperti yang ia rasakan malam ini.
Besok, setelah pulang ke rumahnya, tidak akan ada lagi perawat yang akan datang memberi obat atau memeriksa tekanan darahnya. Ia juga tidak akan bertemu lagi dengan Bu Titi, kepala ruangan Palm 2B yang selalu tersenyum ramah saat datang ke kamarnya. Setiap kali Bu Titi muncul, kamar perawatan Arung seperti mendapat energi kebahagiaan. Bu Titi sangat pandai membuatnya tertawa sehingga ia bisa sejenak melupakan penyakitnya.