“JAM berapa Ryan akan datang ke sini, Sayang?”
Arung berteriak dari dalam kamar.
Setelah mandi satu jam lalu, Arung langsung pindah ke kursi roda dan keluar untuk berjemur di depan rumah. Paparan sinar matahari pagi konon bagus untuk kekuatan otot kaki dan ia ingin mencobanya. Namun, tidak cukup satu jam duduk di atas kursi roda ia sudah merasa kelelahan dan akhirnya memutuskan masuk kembali ke rumah.
“Ryan baru bisa datang sebentar sore karena sebelum ke sini dia harus bekerja dulu di rumah sakit,” jawab Annie dari dapur.
Karena saat itu baru jam setengah sepuluh, Arung memilih menghabiskan waktu dengan membaca novel sambil menjaga Arqam yang tidur nyenyak di ranjang. Ia baru saja membaca beberapa halaman ketika Syifa muncul di pintu kamar dan langsung naik ke ranjang.
“Kenapa Ayah tidak ke kantor?” tanya Syifa yang sudah duduk di atas perut ayahnya.
“Ayah kan masih sakit, Sayang.”
“Kalau masih sakit kenapa Ayah tidak tinggal di rumah sakit?”
Pertanyaan anak-anak terkadang lebih sulit dijawab daripada pertanyaan orang dewasa. Itulah yang dialami Arung saat ini. Ia bingung harus menjawab apa. Mengatakan kepada balita seperti Syifa kalau ia mengidap penyakit langka dan tidak bisa tinggal lebih lama lagi di rumah sakit, rasanya tidak mungkin. Arung tidak mau putri kecilnya bersedih kalau mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Setelah berpikir beberapa saat, Arung akhirnya mendapatkan jawaban yang menurutnya paling pas untuk buah hatinya. “Ayah pulang karena rindu sama Syifa, Kakak Aura, dan Ade Arqam.”
“Terus, kapan Ayah akan sembuh? Syifa mau main kereta-keretaan lagi.”
“Ayah akan sembuh, Nak. Ayah janji,” kata Arung sembari mengangkat dua jari tangannya. “Sebentar lagi kita akan main kereta-keretaan. Ayah akan jadi keretanya, terus Syifa yang cantik ini menjadi sopirnya.”
“Masinis, Ayah.”