Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku

Mario Matutu
Chapter #42

Janji Annie

MENINGGALKAN Makassar ternyata tak semudah yang dibayangkan Arung. Masa depan dan impian indah yang ia bangun selama bertahun-tahun bersama Annie seperti rubuh dengan keputusan itu. Mereka akan pulang kampung sebagai orang yang kalah oleh nasib buruk.  

Meylitis Transversa sudah merenggut segalanya dari dia dan keluarganya. Keceriaan. Kebahagian. Semuanya. Tidak ada yang disisakan penyakit langka ini. Di hadapan mereka kini hanya terpampang sebuah kehidupan yang tanpa harapan dan kepastian. Jalan menuju masa depan yang menunggu mereka begitu gelap. Penuh kesedihan. Rasa sakit. Dan, linangan air mata.

Jauh di kampung bagi Arung akan membuat dirinya sepenuhnya hanya bisa berharap pada mukjizat dari Sang Pencipta. Tanpa belas kasih Tuhan, semua akan sangat menakutkan baginya, untuk Annie, dan buat ketiga buah hatinya.

Begitu banyak hal-hal buruk di kepala Arung, membuatnya sulit memejamkan mata.

Ia semakin sedih saat memikirkan bahwa malam ini akan menjadi malam terakhirnya di rumah yang telah membuat ikatan cintanya dengan Annie semakin kuat. Rumah sederhana itu dalam waktu singkat sudah memberi mereka banyak kebahagiaan. Di rumah inilah mereka membangun impian. Impian yang indah tentang masa depan. Impian yang sayangnya kini kandas di tengah jalan. 

“Begitu banyak kenangan indah yang akan kita tinggalkan di rumah ini.”

Annie yang baru saja terpejam membuka matanya kembali. Dia menatap Arung yang sedang memandang lurus ke langit-langit kamar.

“Bukan hanya kamu, saya juga sedih harus meninggalkan rumah ini, Sayang. Tapi percayalah, kita akan kembali lagi ke sini.”

“Apakah menurutmu keputusan ini sudah tepat, Annie?”

Meskipun dia yang membuat keputusan untuk pulang kampung, Arung tetap tidak mampu menyembunyikan kegundahannya. Kemarin malam ia bahkan sempat merasa ragu dan memikirkannya kembali hampir sepanjang malam.            

“Maksud kamu?”

 “Bagaimana kehidupan kita selanjutnya setelah meninggalkan kota ini.”

“Kita akan hidup normal, Sayang. Anak-anak akan tumbuh dan bersekolah di kampung. Sama seperti kita saat masih seumuran mereka. Jadi, kamu tidak perlu khawatir.”

“Di kampung, kita hanya akan pasrah pada nasib. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.”

“Kenapa kamu berkata seperti itu?”

“Tidak akan ada lagi obat. Tidak ada lagi terapi. Kita hanya akan berharap pada belas kasih Tuhan.”

 “Oh, jadi kamu berpikir bahwa setelah kita di kampung nanti kamu tidak akan makan obat lagi, tidak akan terapi lagi. Itu yang kamu khawatirkan?”

Arung menghela napas panjang. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Tapi diam juga adalah sebuah jawaban meski hampir seluruhnya menyakitkan.

“Tidak perlu khawatir soal itu. Kamu akan tetap makan obat. Dan yakinlah, kamu pasti akan sembuh.”

Kali ini Arung menoleh ke arah Annie. Dahinya berkerut lantaran tidak mengerti maksud perkataan istrinya.

“Saya sudah bicara dengan dr Kemal. Ia akan tetap memberikan resep untuk beberapa obat dan vitamin. Saat obatmu habis, saya akan langsung ke Makassar menemuinya. Lalu, soal terapi, saya sendiri yang akan melakukannya. Ya, mungkin hasilnya memang tidak akan sama kalau yang melakukannya adalah seorang ahli, tapi setidaknya terapi akan tetap jalan. Itu yang terpenting karena kamu sangat membutuhkannya. Kakimu harus terus digerakkan agar tidak kaku dan mengecil.”

 “Kalau mengenai obat, mungkin memang tidak akan ada masalah. Tapi terapi, bagaimana caranya? Saya tidak yakin kamu bisa melakukannya.”

 “Kamu meragukanku?”

“Sepertinya begitu.”

Annie meraih tangan Arung lalu meletakkannya di pipinya. “Ryan sudah mengajariku cara dan tahapan-tahapan terapi. Bahkan ada video-nya. Saya pasti bisa, Sayang. Tapi kalau ada terapis yang bisa kita dapatkan di kampung, itu akan lebih baik karena hasilnya pasti jauh lebih bagus,” jelas Annie.

“Alat terapinya bagaimana? Maksud saya, Ryan kan biasanya menggunakan beberapa alat.”

“Besok, sebelum pulang, kita akan membeli alat terapi infra merah. Tadi saya sudah menghubungi distributornya. Dan jangan bertanya lagi uangnya dari mana. Asal kamu bisa disembuhkan, saya dan anak-anak siap makan ....”

“Jangan lanjutkan, Sayang. Saya akan sedih mendengarnya.”

 Arung menyela sambil meletakkan tiga jarinya di bibir Annie. Setelah itu mereka sama-sama terdiam.

Annie berpikir obrolan mereka sudah berakhir setelah Arung menarik tangannya dari bibirnya lalu memejamkan mata. Makanya ia juga langsung memperbaiki posisi bantalnya dan bersiap untuk tidur. Namun, sebelum matanya terpejam, Arung kembali menghela napas panjang.

“Ada apa lagi, Sayang?”

 “Kamu yakin bisa melakukannya? Terapi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, apalagi perempuan seperti kamu. Menggerakkan kaki seperti yang dilakukan Ryan membutuhkan tenaga besar. Ryan saja yang seorang laki-laki dan terlatih terlihat kelelahan dan mandi keringat.”

Arung belum sepenuhnya yakin Annie bisa menerapi dirinya. Annie mungkin memang sudah tahu caranya, namun itu akan sangat melelahkan. Dan itulah yang dicemaskannya. Ia terlalu mencintai Annie dan tidak pernah mau melihatnya lelah.

 “Apapun akan saya lakukan demi kamu. Kalau hanya lelah sedikit, itu tidak masalah buatku. Bertahun-tahun kamu lelah bekerja siang malam demi membahagiakan saya, dan kini saatnya saya membalas semua itu. Tenang saja, Sayang. Dan satu lagi.”

 “Apa?”

 “Kalau nanti saya memang tidak bisa menjadi terapis yang baik, itu salahmu sendiri karena selama ini kamu terlalu memanjakan saya.”

 Arung tertawa kecut lalu kembali mengela napas.

Lihat selengkapnya