Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, ruas jalan mulus yang terhampar dan lalu lintas yang padat merayap masih membius hatinya. Untuk kesekian kali, lelaki Ndeso itu terkesiap melihat gedung di hadapannya. Gedung itu akan membersamainya selama lima tahun kedepan, sebagai seorang mahasiswa. Yah… Mahasiswa perantau dari desa, kuliah di kota besar dan di Universitas ternama sudah menjadi impian sejak lama. Kendati bukan dari orang kaya, berkat bidik misi akhirnya dia bisa merealisasikan mimpinya tersebut.
”Bruk…!”
Lelaki cungkring dan berambut kriting bak mie baru sudah di seduh itu, terjerembab ke lantai trotoar. Seseorang telah mendorongnya dari arah belakang.
”Dasar udik! Kalau melamun, tuh, Jangan disini! Di tengah jalan raya, sono. Biar tuh muka beradu sama muka mobil,” tandas seorang mahasiswa dengan suara agak keras.
”Awas, minggir, aku sudah telat!” gerutunya lagi lalu langsung pergi. Tak lama seseorang tak dikenal langusng menghampirinya.
Sambil memapah tubuhnya, ”Kamu tidak apa-apa, Mas?” lalu ramah dia menyapa, dengan logat agak medok khas daerah jawa.
”Tidak apa-apa, makasih banyak, nyak” berusaha bangkit, tak lama lelaki berpigmen warna hitam gosong tersebut pun juga langsung pergi. Senyumnya berkibar, selama di kota baru kali ini ia melihat seseorang yang lebih unik dari dirinya.
”Lain kali kita ketemu lagi yah, mas. Aku Jiwo?” teriaknya dengan langkah tergesa-gesa sambil melambaikan tangan. Kendati warna rambut dan kulitnya sulit di bedakan, kecuali warna giginya yang tampak putih kala tersenyum, mahasiswa kedua tersebut malah memilikki hati yang putih. Kontras dengan mahasiswa sebelumnya, yang berkulit bersih tapi sikapnya keruh kayak air got.
Jika di lihat dari cara berpakaiannya, selintas kedua kedua mahasiswa tadi seperti berasal dari desa juga, sama seperti Kamil. Pakaian keduanya tampak ketinggalan jaman berbeda dengan mahasiswa kebanyakan. Kekinian. Senada dengan lelaki yang pertama menabraknya tadi; parlente dan klimis. Tapi sayang, sikapnya? Cadas kayak batu keras. Dia adalah Naga, Mahasiswa asal Medan.
Entah kenapa hari ini banyak mahasiswa yang datang secara tergesa-gesa. Tapi Kamil tak terlalu peduli, baginya, sangat sayang jika harus melewatkan pemandangan suasana kampus, saat dia baru pertama kali masuk kuliah. Setelah kedua orang tak dikenalnya tersebut pergi, kondisi kembali seperti semula. Kamil masih menyusuri santai trotar kampus dengan perasaan bangga. Sesekali mata beloknya takjub melihat gedung kuliahnya bertingkat-tingkat. Maklum, didesanya bangunan tertinggi paling hanya masjid dua tingkat, itupun masih kalah tingginya oleh menara untuk menaruh sumber pengeras suara bernama toa. Kamil dan teman-temannya sewaktu kecil sering menaikinya untuk melihat seputaran desanya yang masih di penuhi sungai dan sawah yang berundak-undak. Sama halnya ketika dia sudah menaiki semua anak tangga dari gedung perkuliahan itu. Sejauh mata memandang hanya gedung-gedung bertingkat dan kepadatan kota yang bercokol. Baginya itu keindahan baru yang belum ada di desanya.