Tepat sebulan sejak pernikahan ini terjadi. Kupikir dengan taat pada perintah Ayah, aku bisa menerima perjodohan ini.
Namun, nyatanya....
Bukannya ridho orangtua pasti ridhonya Allah? Lalu kenapa seolah tak berlaku padaku?
Aku menekuk kedua lututku. Tanggal ini, tanggal tujuh sejak pelarianku dari lelaki keras yang tak bisa mengambil hatiku yang terlanjur tercabik.
Aku masih di sini, dalam konsultasi panjang sejak empat hari lalu aku keluar dari rumah. Psikolog yang menanganiku kutahu memandangku, menunggu aku mengurai cerita sedih amat menyedihkan di satu bulan lalu.
"Sudah bisa dimulai?" Tanyanya menarik senyum manis, padaku. Tatapnya tulus dengan binar mata yang empati penuh padaku.
Kutarik napasku kesekian kalinya. Sesaknya tetap sama. Bahkan sekarang tanpa kuminta airmataku mengalir juga. Turun tanpa jeda hampir sepuluh menitan. Sampai pula kurasa perih kedua mataku ini.
Tangan psikolog itu mulai menyentuh tanganku. Dia tak menyerah juga untuk membujukku bicara.
"Kalau belum siap, Luna boleh kok tetap di sini sampai siap. Saya ambilkan minum, ya...."
Langkahnya terdengar melalui ketukan sepatu high heels~nya.
Aku baru mengangkat wajah saat kudengar jelas pintu ruangan ini ditutup. Haruskah aku berbagi kisah pahitku ini??
Setengah jam aku bertarung dengan diriku sendiri. Maju mundur untuk berusaha kuat menghadapi kekecewaan yang besar ini. Namun, jika aku tak menumpahkan rasa sakitnya aku merasa dadaku ingin meledak. Terlanjur sakit sekali.
Yah, sebulan lalu saat aku baru saja memulai pekerjaanku, dering ponselku terdengar. Rupanya panggilan dari Ayah.
"Menikahlah sekarang. Dulu kamu menolak karena mau menyelesaikan kuliahmu. Sekarang apa lagi alasannya?"
Suara Ayah terkesan memaksaku. Aku yang baru saja menikmati pekerjaan setelah lulus dua bulan lalu tentu tak terpikir kalau Ayah akan segera memintaku menikah.
"Ayah khawatir tak bisa melihat kamu nanti. Ayah sudah sakit-sakitan. Pikirkanlah itu...."
Ayah mulai membuatku terenyuh. Hati anak mana yang menolak keinginan orangtuanya jika hal itu sudah disangkutkan kekhawatirannya tak bisa melihat putrinya menikah. Aku pun diselimuti bimbang. Harus apa dan bagaimana?
Mimpi baru saja akan kurajut, namun desakan Ayah untuk segera menikah menjadi hantu disiang bolong. Jika pun aku bilang usiaku masih dua puluh dua Ayah pasti punya sanggahan.
Sehari dua hari, aku memilih cuek dengan ucapan Ayah. Berharap jika tidak kurespon Ayah mengerti aku. Tapi...,
Senja itu, saat aku baru tiba di kontrakan bersama Husna kawanku, Ayah kembali menghubungiku.
"Jangan sampai kamu menyesal, Luna."
Ucapan Ayah ini sungguh membuatku merinding. Takut juga kalau sampai tak memenuhi keinginannya itu.
Galau membawaku mampir ke rumah Kak Ami. Seniorku di kampus dulu yang sudah bekerja dua tahun di tempat yang sama denganku.
"Lalu mau kamu bagaimana?" Kak Ami memandangku dengan penasaran, setelah aku menceritakan galauku.