Bian duduk termenung di kamarnya yang sunyi, pikirannya penuh dengan rasa bersalah yang terus menghantui. Selama ini, dia merasa telah menjadi kakak yang buruk bagi Seline. Dia hanya diam saat Seline dicaci maki, bahkan ditampar oleh temannya. Parahnya lagi, dia sendiri sering menyakiti adiknya, baik dengan kata-kata maupun sikap.
Selama ini, dia selalu mengira Seline lah yang menyakiti Annie, gadis yang terlihat polos dan manis.
Bian memilih untuk percaya pada Annie daripada adiknya sendiri, Annie gadis yang dianggapnya lemah dan manis. Namun, semua keyakinannya runtuh begitu dia melihat rekaman CCTV itu. Dibalik wajah polos Annie, tersembunyi sifat yang jauh dari kebaikan.
"Gue harus apa, hah?!" teriaknya frustrasi. Tangannya menggenggam rambut, mencoba menenangkan diri. Kamarnya yang kedap suara menjadi saksi kekacauan hatinya.
"Kalau gue minta maaf... emang Seline bakal maafin gue?" bisiknya, nyaris tak terdengar. Rasa bersalah makin menguasai hatinya. Ia merasa selama ini dirinya sudah banyak sekali menyakiti adiknya. Apakah dirinya pantas mendapatkan maaf dari Seline.
Setelah memantapkan hati, Bian akhirnya memutuskan untuk mengejar maaf dari Seline. Baginya, tak masalah jika adiknya belum bisa memaafkannya sekarang. Yang penting, ia ingin mencoba.
Bian melangkah menuju kamar Seline yang berada tepat di sebelah kamarnya. Pintu kamar itu tertutup rapat. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mengetuk pintu.
Tok, tok.
"Masuk aja, pintunya gak dikunci," terdengar suara dari dalam.
Perlahan, Bian membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju pada Seline yang sedang duduk di kursi meja belajarnya. Gadis itu tampak sibuk menulis sesuatu di buku. Bian sedikit terkejut. Selama ini, ia tahu Seline paling malas belajar. Sejak kapan adiknya berubah seperti ini? Banyak hal yang ternyata luput dari perhatiannya, padahal mereka tinggal di bawah atap yang sama.
Terdengar suara gesekan kursi ketika Seline menghentikan aktivitasnya. Ia berbalik, menatap Bian yang masih berdiri di ambang pintu. Pria itu hanya mengenakan kaus dan celana pendek hitam selutut, tampak canggung.
"Masuk, kenapa bengong di situ?" tanya Seline dingin. Dalam hatinya, ia terkejut sekaligus kesal melihat Bian. Bagaimana tidak? Selama ini, Bian sering mengabaikan bahkan menyakiti Seline seperti yang dijelaskan dinovel. Meski perlakuan buruk itu dilakukan pada Seline yang "asli", tetap saja, rasanya sulit bagi Seline untuk melupakan semuanya. Tapi ia di sini karena permintaan Seline asli permintaan yang sulit ia abaikan.
Bian melangkah masuk perlahan. Pandangannya menatap Seline, lalu ia menarik napas panjang sebelum mencoba bicara.
"Seline, gue..." kata-kata itu terasa berat di tenggorokannya, tersangkut sebelum sempat diucapkan.
"Kenapa?" Seline bertanya, ekspresinya tetap datar. Andai bukan karena permintaan Seline asli, ia tak akan pernah bersedia menghadapi Bian seperti ini.
Bian menggigit bibirnya, lalu akhirnya berkata dengan suara hampir tak terdengar, "Gue minta maaf."
Seline mengernyit, jelas tak menyangka. Meskipun sebenarnya, ia sudah menduga momen ini akan tiba.
"Beneran lo bilang minta maaf ke gue?" tanyanya dengan nada sinis.
Bian mengangguk pelan, lalu berkata lebih jelas, "Gue minta maaf, Seline"