Annie terdiam. Kata-kata mamanya membuatnya berpikir. Benar juga.
Jika dia terus menghindar seperti ini, bisa saja Samuel pergi darinya, apalagi belakangan dia melihat Samuel mulai memperhatikan Seline. Pikiran itu membuat hatinya berdesir. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Akhirnya, Annie keluar dari kamarnya.
Ceklek.
Dania, yang sedang menunggu di ruang tamu, langsung menyambut putrinya. "Ayo makan dulu, Sayang. Habis pulang sekolah tadi, kamu belum makan kan?" katanya lembut. Di meja makan, sudah terhidang ayam kecap dan bakwan jagung, makanan favorit Annie.
"Iya, Ma," jawab Annie singkat, lalu duduk di kursi makan.
Setelah makan, Annie mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Layar ponselnya penuh dengan notifikasi dari Samuel. Ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab. Annie menggigit bibirnya, merasa bersalah. Bagaimana kalau Samuel benar-benar kecewa dan mencari pelampiasan ke gadis lain?
Tanpa ragu lagi, Annie menekan tombol untuk menelepon Samuel.
Panggilan itu pun tersambung tersambung.
"Samuel.., Kamu baik-baik aja?" tanya Annie dengan hati-hati.
"Gak, An. Aku lagi pusing banget," jawab Samuel dengan suara berat. "Perusahaan Papa hampir bangkrut. Terus video aku yang nyelakain Seline udah kesebar."
"Kamu kemana aja sampai gak bisa dihubungi" lanjut Samuel.
Annie terdiam, merasa bersalah karena tidak ada di sisinya. "Maaf, Sam. Aku... Aku gak tahu. Aku lagi di rumah aja. Gara-gara video itu, aku juga dihujat tetangga. Di sekolah, Mauren sama gengnya makin keterlaluan."
"Mereka nyakitin kamu?" Nada Samuel berubah tajam. "Berani banget mereka. Gimana kalau kamu pindah sekolah aja. Lagian kelakuan kita udah keterlaluan banget kita bisa aja dikeluarin?"
"Pindah?" Annie terkejut. "Kalau aku pindah, aku gak bisa ketemu kamu lagi dong."
"Iya, tapi kita masih bisa ketemu di luar sekolah, kan? Kalau gak pindah paling kita dikeluarin dari Sekolah. Kamu gak harus terus-terusan ngadepin mereka."
"Sam, kalau aku pindah... kamu ikut pindah juga?"