Jam 6 pagi, bunyi lembut alarm dari speaker pintar di kamar Adelio mulai berbunyi. Ia membuka matanya perlahan, cowok itu menarik selimut yang menutupi tubuh kekarnya yang hanya terbalut celana hitam panjang. Memperlihatkan perut sixpacknya. Kamar itu lebih mirip suite hotel bintang lima, lengkap dengan sofa kulit, rak buku minimalis, dan jendela besar yang menghadap ke taman luas.
Setelah membersihkan diri, ia turun ke ruang makan. Sarapan sudah tertata rapi di meja panjang: croissant hangat, buah segar, dan jus jeruk. Bi Lia, pengurus rumah tangga, menyapa dengan senyuman.
“Den Lio, mau ditambah kopi?”
“Enggak usah, Bi. Makasih,”
jawabnya sambil memakan makanan yang sudah tersaji dimeja.
Di sekolah Adelio pun tak kalah mewah. Ia menggunakan mobil pribadinya yang harganya selangit.
Sepulang sekolah, Adelio biasanya menghabiskan waktu di ruang gym pribadinya. Ia menonton serial di layar besar sambil berlari di treadmill.
Sore harinya, ia mengajak kucingnya, Loki berjalan-jalan di taman belakang rumah. Walaupun Loki selalu membuatnya tertawa, ada rasa kesepian yang tak pernah bisa ia jelaskan.
Malam hari, keluarganya makan malam bersama, meski percakapannya sering terasa formal. Ayahnya sibuk dengan bisnis, ibunya sibuk dengan acara sosial, sementara Adelio hanya mendengarkan, mencoba menikmati masakan yang meski lezat, terasa kurang hangat.
Meskipun begitu Adelio tau bahwa ayah dan ibunya menyayanginya. Hanya saja kasih sayang mereka ditunjukan melalui hal yang lain. Ayah dan ibunya tetap berusaha meluangkan waktu untuknya.
Di kamarnya, Adelio menutup harinya dengan memainkan gitar kesayangannya, satu-satunya hobi yang membuatnya merasa bebas. Ia memikirkan harapannya untuk hidup lebih sederhana, jauh dari tekanan dan ekspektasi keluarganya. Sayangnya tak bisa karena ia merupakan anak tunggal sekaligus pewaris keluarga Raymond. Ia dituntut untuk sempurna disegala bidang termasuk bidang akademik.
Malam semakin larut, namun Adelio belum merasa mengantuk. Di balkon kamarnya, ia memandang langit yang dipenuhi bintang. Tangan kanannya masih memegang gitar, memainkan nada-nada yang lembut tapi penuh makna. Ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya, meskipun semua terlihat sempurna dari luar.
Ponselnya bergetar di atas meja. Nama Alvin muncul di layar. Adelio mengangkat telepon itu.
"Bro, masih bangun? Besok kita ada presentasi, lo ingat kan?" suara Alvin terdengar di seberang.
Adelio tersenyum kecil. "Santai aja. Semua udah gue siapin."
Tapi sebelum Alvin sempat menutup telepon, Adelio tiba-tiba berkata, "Eh, Vin, gimana caranya nembak cewek?"
Alvin terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. "Hah? Ini serius, Adelio? Ya nyatain perasaan lah. Tapi lo harus romantis. Lo mau nembak Seline, kan?"
"Iya," jawab Adelio pelan. "Gue cuma nggak mau dia ngejauh lagi dari gue, Vin."