“Bening, lu itu kapan sih mau buka hati buat cowok, heh? Dari zaman SMA sampai lulus kuliah S1, masih aja doyan ngejomblo. Cuma si Hilwa bisa jadi mantan pacar lu selama ini. Itupun mantan pacar pas SMP,” cecar Uni, sahabat karib Bening sedari kecil.
“Ni, lo serius- an dari zaman SMA masih masalahin calon jodoh gue melulu, heh?” Kata Bening sembari memanyunkan bibirnya.
“Ya lagian, tuh kakak lu udah mau nikah. Lu minimal punya pacarlah untuk dibawa ke pernikahan kakak lu,” tukas Uni sambil sesekali menyeruput kopi di tangannya.
“Belum kepikiran, masih mau menikmati masa sendiri gue, sampai lulus kuliah S2.”
“Lu masih trauma diselingkuhin Hilwa zaman SMP itu? Idih, nggak semua cowok gitu juga, bjir!” kata Uni sambil memainkan mimik wajah khasnya.
“Entahlah, capek juga sih punya perasaan begini tau, Ni. Serius gue, gue juga mau kaya lo pada. Punya cowok yang bisa bikin happy, semangat ngejalanin hari - hari, dan apapun itu. Tapi gue masih takut aja mencoba hubungan lagi. Putus cinta itu sakit banget tau,” jelas Bening.
“Cup, cup, cup, makanya coba aja lu mulai buka hati lagi. Biar lu tau nggak semua cowok itu sama.”
“Ehm, kapan-kapan …,“ Bening ikut menyeruput minumannya.
“Ih lu ya!” Uni mendorong kecil pundak sahabatnya itu.
Malam yang hangat, dibawah langit berbintang dan bulan sabit yang menampakkan diri dengan indah. Uni dan Bening duduk di kafe terbuka langganan mereka. Dua sahabat ini, selalu memesan minuman yang sama setiap datang.
“Matcha 1 ya, Mas,” kata Bening.
“Kalau saya yang seperti biasa deh, coffee latte.”
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
Sementara itu, di meja makan panjang penuh makanan. Segara duduk dengan ogah - ogahan. Sedikitpun dia tidak mau menatap Kencana yang duduk tepat di depannya. Kencana merasakan dinginnya Segara.
“Bapak Derry, Ibu Luna, dan Nak Kencana silakan dimakan sepuasnya. Akhirnya Kencana pulang juga ke Indonesia dan kita bisa di titik ini,” Pak Jedan mempersilakan tamu yang ia tunggu - tunggu beberapa waktu dekat ini.
“Ya Pak Jedan, kami senang kita akhirnya bisa berkumpul untuk membahas pernikahan Segara juga Kencana,” ucap Ayah sembari tersenyum ramah.
“Ya, ya, ya, Pak Derry, tapi maaf, Segara ini memang terlihat agak cuek. Terlebih untuk Nak Kencana, semoga kamu bisa memahami ya. Tapi ketika nanti menikah, lelaki ini pasti bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik.” Jelas sang kakek, membuat Segara mengernyitkan dahinya.
“Iya, Pak, Kencana paham dan mengerti. Pasti Segara juga canggung karena ini pertemuan pertama kami.” Balas Kencana, ia menahan emosinya melihat wajah Segara yang angkuh dan tidak mau menatapnya sedikitpun. “Kalau saja bukan karena cita - citaku, aku nggak akan mau nikah dengan orang yang tidak mencintaiku begini,” batin Kencana kesal.