Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar kos Alana melalui sela-sela ventilasi di atas jendela. Panasnya tepat menyorot wajah bulatnya. Perlahan scene dalam mimpinya menghilang. Berubah menjadi hitam. Gelap. Lalu menjadi merah. Sinar matahari seolah menembus kelopak matanya. Cahayanya menerobos masuk ke pupil matanya yang kecoklatan. Rasa nyamannya terusik. Kesadarannya kembali hadir. Alana meluruskan tangannya ke atas, lalu ke samping. Mengumpulkan niatnya untuk membuka mata. Masih sangat ngantuk rasanya, tangannya kembali memeluk guling. Ia masih ingin berbaring di atas kasur, menutup rapat tubuhnya dengan selimut tebal berwarna coklat muda kesukaannya.
“Mmm... Ya ampun, ngantuk banget gue.”
Alana mencoba membuka matanya.
“Jam berapa sih?”
Bertanya pada dirinya sendiri. Ia memang memilih kos untuk seorang diri agar ia lebih fokus untuk menulis naskah. Lebih tepatnya karena ia adalah seorang introver yang lebih senang menyendiri. Bukan karena tidak suka bergaul. Tapi, Alana merasa tidak semua orang di sekitarnya mengerti dirinya.
Alana membuka matanya dengan guling yang masih berada di pelukannya. Pandangannya tepat menghadap layar laptop yang masih menyala. Pemutar musik masih belum berhenti memutar lagu favoritnya. Ia juga lupa tidak mencabut charger laptopnya yang masih menancap hingga pagi ini.
Gadis itu bangkit dari posisi tidurnya. Duduk di ranjang dan menghadap ke arah jendela. Sambil mengumpulkan nyawanya yang masih terasa belum genap, ia mencabut charger laptopnya. Menutup pemutar lagu yang masih memutarkan lagu yang sama sejak tadi malam. Sebuah file Microsoft Word masih terbuka. Alana membaca sekilas bagian atas dari file tersebut.
“Astaga!!!”
Ia baru sadar pagi ini ada rapat dengan editor penerbit. Semalaman ia me-review naskahnya. Sikap perfeksionisnya sudah mendarah daging. Ia ingin naskahnya terlihat sempurna. Dengan terburu-buru gadis itu menutup jendela file lalu memindahkannya ke dalam flashdisk .
“Kesiangan kan gue.”
Alana mengomel sendiri. Menggerutu sebal. Memaki dirinya sendiri yang lupa memasang alarm. Dengan tergesa, ia berjalan ke kamar mandi sambil menyempol rambutnya. Untung saja ia memilih kamar kos dengan kamar mandi di dalam. Tidak ribet harus antri mandi di saat-saat genting seperti ini. Alana menyambar handuk yang ia gantung di samping pintu kamar mandi. Situasi kepepet seperti ini membuatnya tidak bisa mandi berlama-lama. Padahal, biasanya ia membutuhkan waktu paling tidak enam puluh menit untuk menuntaskan rutinitas yang satu ini. Tapi, pagi ini, sepuluh menit dirasa sudah terlalu lama baginya.
Selesai mandi, tanpa basa-basi Alana langsung memakai baju yang sudah disiapkan dari semalam. Kebiasaan baiknya yang satu ini cukup membantu. Mengenakan wide leg pants berwarna putih dipadu dengan kemeja hitam, gadis itu tampak anggun. Tidak lupa ia menyempatkan diri untuk memoles wajahnya dengan sentuhan make up. Ia selalu terlihat natural setiap kali ber-make up. Paling tidak, wajahnya tidak terlihat pucat. Selain karena tidak ingin terlihat menor, ia juga tidak terlalu pandai merias wajahnya. Tidak jarang orang-orang yang bertemu dengannya di jalan mengira bila ia masih anak SMA. Apalagi saat ia bepergian di jam-jam anak sekolah. Dikira bolos sekolah. Padahal usianya sudah 22 tahun. Wajahnya yang imut dan postur tubuhnya yang mungil tapi normal membuat sebagian orang yang tidak mengenalnya berpikir demikian.
Alana menguncir rambutnya tinggi-tinggi dengan ikat rambut kupu-kupu berwarna putih, hadiah dari sahabatnya. Biasanya, setiap pagi Alana selalu merapikan dan membersihkan kamarnya. Tapi, pagi ini rutinitas yang satu itu terpaksa harus ia skip terlebih dahulu. Ada yang lebih mendesak. Ia harus tiba di kantor penerbit tepat waktu.
Alana mengalungkan totebag-nya ke lengan kanannya. Bahunya menyangga totebag berisikan laptop dan dompet. Kedua tangannya asyik memainkan ponsel. Memesan ojek online.
Di sekitar rumah kos, banyak driver online yang mangkal sambil menunggu orderan. Kamarnya berada di lantai dua dari indekos tiga lantai itu. Tidak perlu menunggu terlalu lama, sesaat setelah ia memesan dan mendapat driver, sebuah motor dengan driver seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahunan berhenti tepat di depan gerbang rumah kos.
“Selamat pagi. Dengan Mba Alana.” sapa driver itu dengan ramah.
“Iya, Pak. Ke alamat yang di aplikasi ya, Pak. Kalo bisa lewat jalan tikus aja. Biar cepet.”
“Helmnya, Mba.” driver ojol menyodorkan helm berwarna hijau.
Jalanan kota di pagi hari begitu ramai dan macet. Pemandangan yang lumrah. Salah satu alasan Alana memilih ojol, biar tidak terjebak macetnya Jakarta. Jalanan penuh oleh kendaraan roda dua dan empat. Beberapa kendaraan besar terlihat menambah sesak ruas jalan. Suara klakson dari berbagai penjuru menambah riuh suasana pagi. Udara Kota Jakarta benar-benar tidak sehat. Penuh polusi. Sepeda motor yang ditumpanginya dengan driver ojol ini menembus macet, membelah jalanan.