Layaknya pasangan remaja pada umumnya. Alana dan Dwika menghabiskan malam minggu bersama. Sekadar makan, nonton film, dan keliling kota mengendarai sepeda motor Dwika, sepeda motor yang menyimpan banyak kenangan dua sejoli yang sedang kasmaran itu. Tapi, malam itu berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Alana yang biasanya ceria, periang, dan paling exited, menjadi diam membisu. Dwika yang biasanya perhatian dan selalu bersikap manis menjadi sedingin es.
Beberapa minggu belakangan memang keduanya sering ada masalah. Kesibukan masing-masing dan kurangnya komunikasi membuat mereka merasa asing satu sama lain. Dwika selalu membuatnya menunggu dan membuatnya harus terbiasa menahan rindu, padahal bisa saja mereka meluangkan waktu untuk bertemu. Alana merasa sudah tidak dihiraukan lagi. Alana berpikir bahwa hubungannya memang sudah berakhir. Hari ini adalah hari jadian mereka yang ke-1 tahun. Genap 365 hari mereka lalui sebagai sepasang kekasih. Namun, hingga malam hari pun Dwika tidak mengingatnya. Hal ini semakin membuat Alana kecewa. Ia berusaha menahan tangisnya.
Alana menghabiskan es krim dengan emosi yang tertahan, air matanya sudah menggenang memenuhi pelupuk matanya dan siap jatuh kapan saja ia mau. Sejak tadi Dwika asyik dengan ponselnya dan mengabaikan Alana yang duduk di sampingnya. Ponsel selalu berhasil merusak suasana. Ia paling tidak suka diabaikan seperti ini. Bahkan, selama ia memasang wajah cemberutnya, Dwika sama sekali tidak menatapnya. Matanya fokus menatap pada layar ponsel yang entah apa isinya yang membuat Dwika senyam-senyum sendiri.
Apakah ada orang lain yang lebih asyik dan menarik daripada dirinya?
Pertanyaan ini terus berputar di pikiran Alana tanpa menemui jawaban. Mungkin jika ia mengambil paksa HP kekasihnya itu, lalu mengeceknya sendiri, ia akan mengetahuinya. Sayangnya, ia tidak punya cukup keberanian untuk melakukan hal senekat itu. Dwika paling benci HP-nya disentuh orang lain, termasuk Alana.
“Aku mau pulang.” Alana bangkit berdiri. Tidak tahan didiamkan seperti pajangan.
“Iya. Sebentar.” Dwika menjawab tanpa menoleh sedikitpun ke arah Alana.
Alana menoleh. Menatap ke arah Dwika. Lelaki yang dicintainya itu sedang berbahagia entah dengan siapa. Binar matanya yang indah seakan bukan miliknya lagi. Tapi, milik seseorang yang entah ada di mana yang berkirim pesan singkat dengan Dwika. Jantungnya serasa ditusuk belati berulang kali. Hatinya sesak akan rasa cemburu dan curiga. Alana menyeka dengan kasar air mata yang perlahan menetes membasahi pipinya.
“Aku mau pulang sekarang!!!”
Alana menaikkan suaranya. Memberikan kode bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Beberapa orang di sekelilingnya menatap heran ke arah mereka.
Dwika mengernyitkan dahi. Kedua alisnya tampak hampir menyatu. Lelaki yang satu ini memang tidak pandai membaca kode seorang wanita. Ia tidak akan pernah mengerti jika wanitanya tidak memberitahunya. Kali ini, Alana kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya.
“Hm...Iya iya. Baru jam 10 juga ih. Udah minta pulang aja.” Dwika bangkit lalu memakai kembali jaketnya.
Lelaki berusia 20 tahun itu, 2 tahun lebih tua dari Alana, menyalakan mesin motornya dan menyodorkan helm abu-abu kepada Alana. Sebelum semuanya serumit ini, meskipun Dwika tidak pernah peka saat dikode, tapi ia adalah tipe cowok yang romantis. Ia selalu memakaikan helm di kepala Alana. Lalu, mencubit hidungnya pelan. Belakangan ini, banyak hal yang berubah dalam waktu singkat. Hal-hal manis yang biasanya Dwika lakukan untuk Alana perlahan hilang. Untuk berkencan malam ini saja Alana harus marah-marah dulu kepadanya. Tidak salah jika Alana menaruh curiga kepada Dwika. Ia mengira ada orang ketiga dalam hubungannya.
Alana merapatkan jaketnya. Sepanjang perjalanan Alana memeluk Dwika erat seolah itu adalah pelukan terakhir yang ia berikan kepada kekasihnya ini. Menyandarkan kepalanya di bahu Dwika. Selama itu pula Alana meluapkan tangisnya. Mempersiapkan diri untuk melepas kekasih hatinya ini. Ia sadar, ada hati lain yang Dwika jaga. Dan, untuk menjaga hati lain itu, harus ada satu hati yang berkorban. Hati itu adalah miliknya.
Dwika mungkin tidak menyadari. Air mata Alana menetes di atas jaket jeansnya. Sementara, suara tangis Alana tenggelam dalam suara motor RX-King milik papahnya Dwika, Om Haris. Malam itu, terasa semakin dingin bagi Alana. Udara yang dingin dan sikap Dwika yang juga dingin. Ia begitu menyayangi Dwika. Bagaimanapun, Dwika adalah cinta pertamanya. Kenangannya mungkin tidak akan mudah untuk dilupakan. Tapi, menggenggam sesuatu yang tidak lagi ingin digenggam sama saja dengan membuang-buang waktu.
Dwika menghentikan sepeda motornya tepat di depan rumah Alana. Gadis itu turun dan tidak langsung masuk ke rumah. Ia menunggu kekasihnya itu untuk pergi dan menatapnya hilang diculik jarak atau mungkin masih berharap Dwika mengingat hari jadian mereka. Alana salah. Dwika sama sekali tidak mengingatnya. Entah apa yang ada di pikirannya hingga ingatan tentang kenangan manis manakala Dwika menyatakan perasaannya itu lenyap.
Dwika menarik napas berat, membuka suara.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu.”
“Apa?” Alana tersenyum simpul. Masih berharap Dwika mengingat hari penting ini.