Lamunan Alana buyar. Kembali pada realita di hadapannya. Ya, seseorang dari masa lalunya yang sudah mati-matian ia lupakan, hari ini muncul kembali di depan wajahnya. Mata itu kembali bertatapan dengan matanya. Niat awal ingin bersikap ketus dan marah-marah hilang. Entah mengapa dirinya tidak pernah sanggup jika tidak bersikap lembut pada pria ini.
Alana memalingkan wajahnya. Bersiap memutarbalikkan badannya. Berusaha menghindar dari lelaki yang kini sedang memperhatikan setiap gerak-geriknya.
“Dunia emang sempit ya!” teriak Dwika saat Alana mulai beranjak pergi meninggalkannya. Berhenti menatap layar HP-nya. Meninggalkan game-nya. Jarang sekali ia melakukan ini.
Perkataan Dwika membuat Alana menghentikan langkahnya. Apa ini? Ia menyapaku? Alana berpikir sejenak. Mengatur napasnya sebelum ia membalikkan badannya menghampiri Dwika.
“Maksud kamu?” tanya Alana tepat saat ia sudah berada di hadapan Dwika.
“Iya. Dunia itu sempit. Buktinya semesta kembali mempertemukan kita.” jawab Dwika.
“Semesta? Kita?” Alana bertanya-tanya dan masih belum mengerti dengan sikap Dwika. Seharusnya, ia tidak perlu lagi menyapanya.
“Hai, apa kabar?” Dwika bertanya dengan nada yang selembut saat mereka pertama bertemu. Mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
“Baik.” jawab Alana singkat. Berusaha bersikap biasa saja. Mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Dwika.
“Lama ya kita nggak ketemu. Kamu nggak kangen sama aku?” lagi dan lagi pertanyaan Dwika membuat Alana berpikir keras. Menahan diri agar tidak terbawa perasaan alias baper.
‘Nih mantan satu apa sih maunya? Pake nanya kangen apa nggak? Kampret bener nih orang’ Alana membatin sendiri.
“Kamu kangen sama aku?” Alana balik bertanya. Membalikan keadaan sebelum dirinya semakin terpojok atas pertanyaan-pertanyaan Dwika yang membuat hatinya kembali tidak karuan.
“Iya. I miss you.” Dwika membisikan kata rindu tepat di telinga Alana.
‘Ya Tuhan... Ini apaan lagi sih? Sejak kapan nih orang jadi sweet dan romantis gini sih? Terakhir kali ketemu dia sedingin es batu’ Heran dengan perubahan sikap Dwika.
Alana mendadak jadi patung. Deklarasi rindu yang baru saja Dwika lakukan untuknya seolah menjadi mantra yang membuatnya tidak bisa berkata-kata dan bergerak. Mati kutu.
“Lan, kok diam?” Dwika melambaikan tangan di depan mata Alana yang tidak berkedip beberapa detik, “Kenapa?” masih terus menggoda Alana. Ia yakin kalau cewek di hadapannya ini juga merindukannya. Sikapnya begitu kentara. Ya, Alana memang mudah sekali dibaca dari gesture tubuhnya.
“Nggak papa kok.” Alana masih enggan mengakui rindunya.
“Astagaaa...” Alana menepuk jidatnya. Tersadar akan sesuatu.
“Kenapa?” tanya Dwika.
“Aku ada meeting bentar lagi. Yah, yah, tuh kan keretanya jalan. Ketinggalan kereta kan jadinya. Kamu sih ngajak aku ngobrol.” menunjuk kereta yang mulai melaju meninggalkan stasiun sambil memasang tampang bete. Tangannya melayang menabok bahu Dwika.