Terjebak Nostalgia

Ranu Kaswari
Chapter #4

Selepas Kau Pergi

Sebuah kafe di ujung jalan dengan nuansa industrialis tampak nyaman dan membuat siapa pun betah berlama-lama di dalamnya.

Alana menatap Dwika, “Ini tempatnya?” tanyanya.

Setahu Alana, Dwika bukan tipe orang yang suka nongkrong di kafe. Ia lebih memilih warung kopi sambil mabar PUBG bersama teman-teman SMK-nya yang kini sudah menemukan jalan hidupnya masing-masing. Bagas yang menjadi cleaning service di salah satu kantor di Jakarta. Ryan yang menjadi montir di bengkel berbekal keahlian yang ia dapat selama menjadi anak STM. Dan, Devan yang kini sekampus bahkan satu prodi dengannya.

“Iya. Masuk, yuk.” Dwika menarik tangan Alana yang dengan terpaksa, mau tidak mau harus mengekorinya di belakang.

Lonceng yang digantung di atas pintu berbunyi manakala pintu kafe terbuka. Dwika memilih tempat duduk di pojok, dekat dengan jendela kaca yang mengarah ke depan, mempertunjukkan kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan. Meja bermotif kayu dan kursi besi menjadi ornamen khas kafe kekinian. Tempat nongkrong anak muda jaman sekarang. Kata orang, anak indie menyukai kopi dan mengagumi senja, termasuk gadis 22 tahun itu. Alana langsung terpikat dengan suasana kafe yang tenang dan nyaman. Kafe ini buka lebih pagi daripada kafe yang lain. Mungkin karena dekat dengan stasiun kereta api. Dwika melambaikan tangan kepada seorang pelayan. Seorang wanita dengan kaos hitam dan celemek putih datang sambil menenteng note dan pulpen untuk mencatat pesanan. 

“Selamat Pagi. Selamat datang di Kafe Ceria. Mau pesan apa?” sapa pelayan kafe ramah dengan senyum yang tidak ketinggalan. Melirik Alana sekilas. Setelah sekian lama ia datang sendiri, akhirnya ia membawa teman wanita.

“Kamu mau minum apa?” tanya Dwika kepada Alana dengan mata yang masih fokus pada brosur menu.

“Terserah deh.” kebiasaan kaum hawa yang selalu berhasil bikin pusing kaum adam.

Dwika mendongak. Melirik Alana yang terkekeh senang. “Hm...” Dwika bergumam.

Hot coffe dua sama waffle dua, Mba. Toppingnya coklat aja.”

“Siap, Mas. Ditunggu, ya.” wanita itu berlalu menuju dapur, menyerahkan secarik kertas bertuliskan pesanan pelanggan pertama kafe itu di sana.

Dwika menatap Alana dengan tatapan menyelidik dan berhasil membuat Alana salah tingkah. Memperhatikan tiap detail dari lekuk wajahnya. Matanya. Hidungnya yang tidak mancung tapi juga tidak bisa dibilang pesek. Bibirnya yang mungil dibalut liptint berwarna merah.

“Kamu udah berubah, ya?” celetuk Dwika lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

Alana semakin salah tingkah manakala Dwika bertanya demikian. “Berubah gimana maksudnya?” Alana bingung. Ia masih menerka-nerka apa yang akan terjadi berikutnya. Ini pertemuan pertamanya dengan mantan pacarnya. Alana memperbaiki posisi duduknya yang kurang nyaman. Bukan karena bangku yang tidak enak dipakai. Tapi, karena Dwika yang tidak berhenti menatapnya dengan tatapan keheranan.

“Jadi cantik.” Pujian itu melayang begitu saja. Mendarat tepat di telinga Alana. Lantas turun ke jantungnya yang menjadi berdegup kencang.

“Apaan sih? Maksud kamu aku dulu jelek gitu?” Alana berucap ketus. Berusaha secuek mungkin dengan laki-laki yang pernah membuatnya merasakan patah hati yang teramat dalam. Mencoba menahan jiwanya yang serasa ingin terbang. Jarang sekali pria ini memujinya. Bahkan, hampir tidak pernah.

“Iya.” jawab Dwika singkat.

“Ngeselin ya. Masih aja kaya dulu.” Alana melipat tangannya di depan dada.

“Aku punya banyak cerita setelah kamu mutusin aku yang bahkan aku nggak tahu apa salah aku sampai kamu mutusin aku.” Dwika mencondongkan tubuhnya ke depan. Matanya menatap Alana lekat.

“Jadi, kamu ngajak aku ke sini cuma buat ngomongin masa lalu?” tanya Alana tampak serius.

“Iya.”

Alana tertawa pelan. “Buat apa? Semuanya udah berlalu.” jawabnya.

“No. Kita belum selesai. Aku butuh banyak penjelasan dari kamu. Malam itu kamu tiba-tiba mutusin aku gitu aja. Kaya anak kecil tahu nggak?” Dwika membantah. Masih meminta penjelasan atas kejadian dua tahun silam yang bahkan sudah hilang dari ingatan Alana.

Alana terdiam. Membeku di tempatnya. Ia malas sekali jika harus mengungkit masa lalu. Dwika adalah kenangan manis yang berakhir pahit, menyesakkan tiap kali ia mengingatnya.

“Ini semua salah paham.” Dwika berkata serius. Lebih serius dari sebelumnya.

“Mau kamu apa?” tanya Alana sedikit kesal.

“Jelaskan. Aku butuh pen-je-la-san.” Dwika menjawab sambil jarinya mengetuk meja di setiap ejaan yang keluar dari mulutnya.

Lihat selengkapnya