Dwika menyesap kopi panasnya yang tinggal setengah cangkir. Lelaki itu memang penggila kopi. Setelah menyimak penjelasan Alana dengan baik, ia melihat benang merah hubungannya yang kandas kala itu. Tapi, ia lebih tertariak dengan kisah Alana menggapai mimpinya untuk menjadi penulis. Selama berpacaran, Alana sering sekali membicarakan keinginannya itu. Dwika juga sering dibuatkan puisi olehnya. Mungkin hal itu juga yang membuat Dwika kini mulai menyukai dunia sastra. Melalui aksara sebagai perantara, sajak sebagai pembicara, dan senandika yang menyiratkan berbagai rasa, Dwika mampu mengobati rindunya kepada Alana saat ia baru saja patah hati.
“Hahahaha...” Dwika tertawa lantang. Tidak menyangka Alana melakukan hal sebodoh dan sekonyol itu saat ia patah hati.
“Kok ketawa sih?” tanya Alana kebingungan, “emang ada yang lucu ya?” Alana bercerita dengan serius dan merasa tidak ada satu pun yang mengundang tawa dari ceritanya.
“Ngapain buka jendela malam-malam. Yang ada masuk angin, kan. Bego kok dipelihara.”
Sadar ia baru saja mengumumkan kebodohannya dengan polos, Alana beralasan, “Ya kan aku baru pertama kali patah hati. Mana aku tahu lah.” Alana menggerutu sebal. Memutar bola matanya ke sembarang arah. Gadis itu tampak salah tingkah.
“Kan kamu sendiri yang mutusin aku. Kenapa jadi kamu yang patah hati? Kan harusnya aku.”
Alana ingin sekali berkata jujur kalau saat itu ia masih menyayangi Dwika dan memutuskan Dwika dengan berat hati. Ia menyesal. Namun, ia juga sudah tidak tahan dicampakkan sementara di luar sana beredar rumor tak sedap yang sampai membuat telinganya serasa memanas tiap kali sahabatnya melaporkan sesuatu yang baru saja mereka lihat.
Dwika adalah cinta pertamanya. Seharusnya ia bisa menjaga hubungannya itu. Alana mengurungkan niatnya berkata demikian. Malu. Takut Dwika menertawakannya lagi. Ia tidak ingin Dwika ke-geer-an.
“Mau aku lanjutin nggak nih ceritanya?” tanya Alana. Mengalihkan topik pembicaraan Dwika.
Laki-laki itu menelan makanan yang sedang dikunyahnya dengan buru-buru, “Terus...” kata Dwika membuka matanya lebar seolah menahan kantuk. Alana tidak pandai bercerita. Semua kata yang keluar dari mulut Alana bagaikan obat tidur. Bukan karena isi ceritanya, tapi karena suaranya yang begitu lembut.
***
Alana bangun dari tidur siang yang panjang. Bahkan, hingga siang telah berganti malam. Alana melirik jam kecil yang ia letakkan di atas meja. Sudah pukul delapan malam. Istirahatnya sudah cukup. Tubuhnya sedikit lebih fresh dan merasa lebih enak. Namun, masih saja ia belum berani menyentuh air untuk mandi. Takut menggigil lagi. Alana keluar kamar dan mengambil segelas air putih. Hibernasinya membuatnya kehausan. Kerongkongannya terasa kering seperti dilanda kemarau panjang.
Alana duduk di mini bar, sesekali memperhatikan kedua orang tuanya yang sedang asyik menonton TV di depannya. Ia anak tunggal. Pasti kedua orang tuanya ingin yang terbaik untuknya. Tapi, ia juga ingin menentukan jalan hidupnya. Perbedaan pandangan sering kali membuat orang yang saling menyayangi menjadi berselisih paham.
Demikian pula dengan Alana. Ia takut hal itu terjadi padanya. Bagaimanapun, ia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Ingin menjadi anak yang penurut. Ia terlalu takut mengecewakan. Selama ini ia rela meninggalkan apa yang disukainya demi orang tuanya. Tapi, kali ini ia merasa semuanya sudah cukup. Pengorbanannya sudah cukup. Ia merasa kini adalah saatnya ia untuk berani bicara. Bukan untuk menentang dan menjadi anak durhaka. Tapi, untuk sekali saja mendengarkan apa yang dikatakan oleh hatinya.
Alana berinisiatif membuatkan teh untuk kedua orang tuanya. Berharap bisa mencairkan suasana sebelum ia mengutarakan niatnya.
Langkahnya sedikit ragu, tapi mau tak mau ia harus tetap melakukannya, “Pah, Mah. Ini aku bikinin teh.” ucap Alana sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh.
“Eh, kamu udah bangun. Udah mendingan?” tanya mamahnya.
“Udah, Mah.” Alana duduk di tengah-tengah. Memaksa kedua orang tuanya untuk bergeser ke pinggir.
“Hehe...”
Alana terkekeh saat melihat ekspresi papahnya yang merasa sedikit kesal karena harus duduk berjauhan dengan istrinya. Juga raut wajah keheranan melihat tingkah anaknya yang tidak biasa. Semenjak mengenal Dwika, Alana sudah jarang menghabiskan waktunya untuk sekadar duduk bersama kedua orang tuanya. Dunianya hanya berkisar tentang Dwika dan dirinya. Cinta buta.
“Nggak papa kan Alana duduk di sini?” tanya Alana hati-hati. Ia merasa canggung. Alana tertawa kecil. Menertawakan sesuatu yang tidak lucu.