Terjebak Nostalgia

Ranu Kaswari
Chapter #6

Ketika Aku Merasa Sebatang Kara

Alana mengurung diri di kamar. Memikirkan kembali keinginannya. Berusaha mengendalikan egonya. Mencoba untuk mengalah lagi. Tidak, ia tidak bisa melakukannya meski berulang kali ia mencoba. Keadaan selalu menghimpitnya. Tidak pernah memberi ruang gerak. Sekarang, saatnya ia untuk memutar balikkan keadaan. Ia tidak ingin mengalah atau dikalahkan lagi. Hidup di dunia memang hanya sementara. Tapi, yang sementara itu, bukan untuk disia-siakan. Dibiarkan berlalu begitu saja. Justru karena hanya sementara, seharusnya bisa meninggalkan kesan istimewa.

‘Alana, lo harus bisa, lo harus bangkit, dan lo harus berani. Jangan diam lagi. Ini hidup lo, dan lo berhak atas semua keputusan di hidup lo. Buktiin sama orang-orang yang ngeremehin lo kalo mereka itu salah. Masa depan lo ada di tangan lo sendiri. Nggak usah dengerin orang lain. Terserah orang mau ngomong apa. Manusia emang hasil kolektif dari apa yang didengar dan dipelajari. Tapi, sekali lagi, selama apa yang lo lakukan itu benar, lo perjuangkan masa depan lo. Perjuangkan cita-cita lo. Semangat!’

Mantra yang selama ini tidak pernah manjur, akhirnya berhasil membangkitkan keyakinan dan kepercayaan dirinya. Untuk pertama kalinya, Alana menulis dengan air mata yang membanjiri pipinya. Ia mulai menuliskan apa-apa yang ada di pikirannya dan yang ia rasakan. Tekadnya sudah bulat. Jika papahnya tidak mendukungnya, maka ia yang harus membuktikan kalau ia bisa. Terkadang, untuk membungkam orang-orang yang meremehkan, kita harus berjuang dan membuktikan bahwa kita bisa mencapai apa yang kita inginkan.

“Arghhh...” Alana mengerang kesal. Menjauhkan laptopnya hingga ke ujung kasur. Gadis manis itu terduduk di samping ranjang. Kedua lututnya tertekuk. Sementara tangannya, melingkar memeluk kakinya.

“Tuhan... kenapa semua harus sesulit ini?” Alana menatap langit-langit kamarnya. Menggigit ibu jarinya. Ia merasakan sesuatu yang hangat perlahan mengalir jatuh membasahi pipinya. Satu bulir disusul dengan bulir lain yang kini menjelma menjadi hujan air mata.

Bunyi ‘bip’ dari ponsel Alana yang tergeletak di kasur mengalihkan perhatiannya. Alana melirik singkat. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan. Lalu, meraih ponselnya dengan malas. Sebuah pesan muncul di layar.

‘Ann, lo di mana? Gue boleh minta lo temenin gue nggak? Kalo lo nggak sibuk sih.’

Bara. Teman sekelas Alana selama tiga tahun bersekolah di SMA. Sahabatnya yang paling bisa mengerti. Setiap kali ada masalah ataupun hal yang mengganggu pikirannya, Alana selalu berbagi cerita dengan Bara. Baginya, Bara adalah satu-satunya orang yang bisa dipercaya dan menjaga rahasia. Berada di dekatnya, membuat Alana merasa nyaman dan tenang.

‘Kemana?’

Alana membalas singkat. Sebenarnya, saat ini perasaan dan pikirannya sedang kacau. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi, menolak ajakan Bara adalah hal yang paling tidak bisa ia lakukan.

Pesan dari Bara kembali masuk.

‘Lo mau nggak? Kalo lo mau, gue otw sekarang nih.’

Mungkin dengan ia pergi keluar bersama Bara, bisa melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapinya. Barangkali Alana juga bisa berbagi cerita dengannya.

‘Hmm... Ya udah deh. Gue siap-siap dulu’

Alana bangkit berdiri. Menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Bersiap-siap untuk pergi. Alana memakai kaos hitam dipadukan dengan celana kulot jeans. Jaket denim melengkapi penampilannya. Alana membiarkan rambut panjangnya tergerai.

Tak lama, suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Alana mengintip dari tirai dalam kamarnya. Bara sudah sampai. Alana bergegas keluar rumah. Mengabaikan pertanyaan mamahnya yang memergokinya.

“Mau kemana kamu?” tanya mamah.

Alana hanya berlalu. Tidak ingin menanggapi orang rumah. Ia marah dengan papahnya. Seharusnya ia tidak marah dengan mamahnya. Tapi, baginya mamahnya adalah orang yang akan selalu menuruti perintah dan omongan papahnya. Meskipun mamahnya sudah mengatakan jika akan membantu Alana membujuk papahnya, Alana sudah terlanjur tidak menaruh harapan padanya.

Papahnya keluar dari kamar dan mendapati anaknya mengabaikan pertanyaan istrinya itu.

“Tuh, lihat anakmu itu. Ditanya malah diam saja.” Papah memanasi keadaan.

Alana hanya melirik. Melihat papahnya dari ekor matanya. Ia ingin sekali mengumpat. Tapi, ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Melangkah keluar dan segera menemui Bara yang sudah menunggu.

“Hai..” sapa Bara saat melihat Alana keluar dari balik pintu.

Alana hanya tersenyum masam.

Lihat selengkapnya