Aku tidak menyangka dia--orang yang kubenci dan tak ingin disebut namanya--muncul di hadapanku. Rasa yang sudah lama aku kubur ternyata masih ada, terbukti dengan reaksi tubuhku beberapa saat lalu saat bertatap muka dengannya.
Beruntung Mama cepat datang sehingga aku bisa cepat kabur kembali ke kamar, meninggalkan Mama yang menatapku bingung.
Beberapa saat kemudian Mama mengetuk pintu.
“Dinda … Dinda.” Mama terus memanggil namaku beberapa kali, tetapi aku menutup mulut.
Aku hanya menangis dan menutup telingaku dengan bantal dan membungkus seluruh tubuh dengan selimut. Perasaan takut dan kilatan akan kenangan pahit 13 tahun yang lalu muncul kembali.
Gara-gara orang itu, kehidupan rumah tangga Mama dan Papa semakin memburuk. Tidak jarang mereka bertengkar sampai Mama kabur ke rumah keluarga karena dihajar Papa sampai babak belur.
Setelah itu, Papa minta maaf lalu menjemput Mama pulang ke rumah. Beberapa bulan kemudian mereka kembali bertengkar dan Mama kabur lagi. Siklus itu terus berputar sampai aku menginjak usia ke 20 tahun. Memang sekarang mereka sering bertengkar, tapi Papa sudah nggak memukul Mama lagi. Andai aku bisa ngomong, pengen gitu nyuruh mereka cerai saja daripada hidup hanya saling menyakiti.
Sekarang sudah pukul 12 malam, tapi masih nggak bisa memejamkan mata. Aku mencoba menghubungi Thomas, tetapi nomornya nggak aktif. Mungkin dia sudah tidur. Sementara itu aku mendengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kamar. Nah ‘kan, baru aja diomongin.
“Kamu itu memang dari dulu nggak pernah sayang dengan keluargaku.” Suara Mama terdengar melengking, disambut dengan suara gelas pecah.
Aku menghembuskan napas kuat-kuat, melepaskan sedikit rasa sesak di dada. Mereka nggak malu apa, selama puluhan tahun bertengkar terus. Apalagi di jam istirahat para tetangga.
“Buat apa sayang sama adik kamu yang nggak tau diuntung itu. Dulu dia kabur begitu saja setelah mencuri uangku, sekarang datang dan minta bantuan lagi. Nggak tau malu!” Suara papa lebih nyaring terdengar.
Aku menekan telinga dengan bantal lebih kencang lagi, supaya aku tidak mendengar suara teriakan mereka lagi, sambil memejamkan mata dan membiarkan air mata mengalir. Malam ini aku terlalu banyak menangis. Kapan semua ini berakhir Tuhan?
***
Sekarang jam 3 sore, aku sedang bersiap-siap menunggu dijemput Thomas untuk memenuhi undangan syukuran ulang tahun anak Mala. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk.
“Siapa?” teriakku was-was.
“Mama masuk, ya.”
Aku menghembuskan nafas lega. Untung bukan orang itu yang semalam datang ke rumah.