“Yang, siapa itu Danisa?” tanyaku hati-hati sambil memerhatikan reaksi Thomas.
“Dia bukan siapa-siapa,” balas Thomas galak kemudian membuang muka.
“Jangan boong! Tadi Bella cerita, Danisa itu cewek yang buat kamu nggak bisa pacaran sama cewek lain. Betul nggak?” cecarku berusaha mengatur nada suara sesantai mungkin seraya terus melihat figurnya dari samping.
Mendadak Thomas menambah kecepatan mobil yang membuatku sedikit tersentak. Dia selalu gitu tuh, setiap kali marah kalau lagi nyetir. Pasti nambah kecepatan sambil bibirnya mengerucut seratus meter ke depan. Aku ikutan emosi sekaligus takut kalau dia mulai gila kayak gini. Aku masih sayang nyawa.
“Nggak usah percaya apa pun yang dikatakan oleh teman-temanku. Mereka itu jahil, kalau udah ketemu, segala yang gak ada dibuat ada. Danisa itu hanya teman biasa. Kami nggak akrab.”
Thomas menghentikan mobil tepat di depan lampu merah lalu dia mengarahkan wajahnya mendekati wajahku. Reflek aku langsung menutup mata, 1 … 2 … 3 … suara ketawanya melengking. Sialan aku dikerjai.
“Pikiran mesum terus,” godanya dengan nada mengejek.
“Nggak, ya.” Aku memukul bahu dengan pipi menghangat. Malu banget, seketika salah tingkah.
Melihat dia masih tertawa sampai memegang perutnya membuatku takjub dengan perubahan emosi Thomas yang bisa berubah dari marah yang menggebu-gebu, mendadak bisa menjahiliku seperti nggak terjadi apa-apa.
“Beb, aku dan dia nggak pernah ada hubungan apapun. Dulu di tongkrongan selalu dijodoh-jodohin sama anak-anak, tapi kita nggak mau. Lagian sekarang kamu satu-satunya masa depanku, kalau kamu belah dadaku, muka kamu nih yang tercetak di situ," ucap Thomas memberi penjelasan dengan tatapan lembutnya.
“Kresek mana sih? Pengen muntah aku dengar gombalan kamu.” Aku menjulurkan lidah seperti orang yang sedang mual.
Sebenarnya pipiku kembali memanas dan jantungku berdegub kencang tiap kali mendengar kata-kata romantis yang dia lontarkan. Walaupun kata-katanya yang tadi seperti gombalan sampah, tapi aku tetap suka mendengarnya. Maklum baru pertama kali pacaran, jadi baru digombalin dikit saja rasanya mau terbang.
“Aku serius!” katanya meyakinkanku begitu kembali melajukan mobil setelah lampu lalu lintas berganti ke warna hijau.
“Kalau beneran sayang, pasti aku nggak sering dimarahi,” sindirku sengaja pake nada agak sedih-sedih gitu.