Aku sudah siap berangkat ke kantor tapi nggak berani keluar kamar karena takut bertemu pria itu yang sudah mulai menginap dari tadi malam. Aku juga diwanti-wanti Mama, nggak boleh melapor ke Papa kalau adiknya menginap di rumah.
Awalnya aku keberatan, tetapi Mama memohon padaku. Katanya, pria itu sedang kesusahan karena tertimpa musibah. Makanya Mama menerimanya tinggal di sini sambil dia menyelesaikan masalahnya. Terpaksa aku sebagai anak yang baik akan tutup mulut. Walaupun harus menahan ketakutan akan pria itu.
Aku tersenyum lega saat nama Thomas muncul di layar ponselku. Dia akan menjemputku.
“Oke, aku tunggu di depan, ya." Aku memutus panggilan.
Lima menit lagi Thomas sudah sampai, aku sudah harus menunggunya di depan rumah. Meneguhkan hatiku biar nggak gugup atau menunjukan ketakutan seperti tadi malam saat bertemu pria itu. Aku harus tunjukan kepada orang itu kalau aku perempuan kuat dan nggak takut sama dia.
Aku menarik dan menghembuskan napas saat melangkah keluar kamar sambil mengucapkan mantra andalan di dalam hati, semua akan baik-baik saja.
“Sarapan dulu, Nak,” panggil Mama sembari menata makanan di atas meja.
“Aku buru-buru, Ma,” sangkalku kemudian mengecup pipi Mama.
“Ini masih jam 7 pagi, biasanya kamu berangkat jam 8. Sarapan dulu.”
“Aku harus cepat ke kantor karena belum selesaikan laporan yang harus dimasukan ke Manajer jam 9 pagi ini.”
“Ya udah, tunggu sebentar! Mama pindahin sarapan kamu ke kotak bekal. Jangan protes!” ancamnya sebelum berlalu ke dapur.
Kalau Mama udah bilang “jangan protes" ditambah dengan mata melotot, aku nggak bisa nolak lagi. Sebenarnya udah kebiasaan sarapan sebelum ke kantor, tapi demi menghindari pria itu, aku harus bohong ke Mama soal laporan ke Manajer.
Sambil menunggu kotak bekal, aku melarikan jempolku di atas layar ponsel di ruang tengah. Terdengar salah satu pintu kamar dibuka dari dalam, aku mengangkat wajah, tetapi segera kusesali karena bersitatap dengan pria itu.
“Selamat pagi, Dinda,” sapanya dengan suara terdengar ramah, tetapi mampu membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhku berdiri.
Aku pura-pura nggak mendengar suara menyebalkan itu. Aku terus menatap ponsel.
“Kamu udah besar ya sekarang, tambah cantik," tambahnya semakin mendekat padaku.
Sekujur tubuhku reflek gemetar hanya mendengar bualan dari laki-laki penghancur masa depanku.