Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #1

Teman Baru Di Tubuh Gemani

Pada cerminan diri, Gemani sedikit gentar terhadap sketsa buruk yang mulai tergambar di balik pikirannya. Namun, rasa penasarannya tetap jauh lebih tinggi. Tangannya memegang leher kanan, sedikit meraba dan menekan. Maka dengan perlahan, ia mulai merasakan keberadaan benjolan yang dari luar terlihat samar.

Gemani artinya bersuara lantang. Ibunya memberi nama sebagai panjat doa sepanjang usia supaya Gemani menjadi manusia yang bebas lepas menyuarakan isi hati, agar tidak berpenyakit darah tinggi karena menyimpan berbagai emosi.

Namun doa tak selamanya dan sepenuhnya akan terwujud. Beberapa ada yang tertunda sampai Tuhan berkehendak di waktu yang menurut-Nya tepat. Karena pada malam gelap kelam tak berhias bulan dan bintang, Gemani duduk dengan tubuh sedikit gemetar sebab tidak punya keberanian untuk bebas lepas memberitahu benjolan di lehernya pada Ibu.

Sudah tiga bulan tiap malam datang, Gemani diserang demam tinggi sampai fajar tiba, diiringi keringat yang bercucuran deras akibat proses penurunan suhu badan yang berlangsung sepanjang malam.

Setiap hari setelah malam tanpa bulan itu, Gemani tak pernah absen berlatih mengucapkan kalimat pemberitahuan mengenai keberadaan benjolan di lehernya pada Ibu. Namun, tiap kali menghampiri dan mengajak Ibu untuk berbincang, lidahnya sangat kelu. Kalimat demi kalimat yang sudah dilatih, tidak pernah keluar satu kata pun.

Dari lahir sampai beranjak dewasa, Gemani selalu menemukan Ibu menangis di atas sajadah karenanya. Kehadiran Gemani sebagai anak pertama menggantikan Maulana yang mengembuskan napas terakhir sedetik setelah menghirup udara bumi tentu sangat diharapkan Ibu dan Bapak. Meski begitu, Gemani lahir dalam keadaan tangan kanan yang terlihat lebih besar dikarenakan tumor pembuluh darah. Maka sejak lahir, Gemani sudah ditangisi oleh Ibu.

Gemani kecil sudah diusahakan oleh kedua orang tuanya untuk sembuh dari tumor, supaya kelak ketika beranjak dewasa Gemani tidak akan merasakan sakit. Ibu dan Bapak sampai mengunjungi setiap rumah sakit yang ada di kota, tapi tidak ada satupun dokter yang menyanggupi. Mereka tak menyerah, keduanya keluar kota demi menemukan rumah sakit yang bersedia untuk mengangkat tumor yang ada di tangan Gemani.

Untuk membiayai operasi, Bapak menjual seluruh tanah warisan kakek, dan Ibu menjual perhiasan tanpa sisa. Nahasnya, operasi tersebut gagal menyisakan luka bekas yang menghiasi setengah tangan Gemani, tepatnya dari pergelangan sampai siku.

Setelah operasi gagal, usaha terus-menerus dilakukan. Berobat jalan rutin di Jakarta—kata Ibu, Gemani kecil selalu menangis tiap melihat bundaran HI karena sudah tahu akan disuntik—,pengobatan alternatif, obat herbal, terapi air wudhu, hingga mendatangkan dokter dari China. Namun, tumornya bandel dan tak kunjung menghilang.

Setelah masuk sekolah dasar, Gemani tidak mau lagi diajak berobat dan minum obat. Ditawarkan untuk operasi lagi pun menolak dengan alasan tidak berani. Padahal, Gemani merasa sudah cukup uang Bapak dan Ibu habis karena dirinya. Gemani memiliki adik-adik yang juga jadi tanggung jawab Bapak dan Ibu, namanya Ojala dan Nisaka.

Gemani mencoba menjalani hidup dengan ikhlas, masih punya tangan yang utuh saja sudah syukur.

Setelah operasi, jari tangan kanan Gemani kaku dan sulit digerakkan, maka ia harus membiasakan diri untuk menggunakan tangan kiri di berbagai kegiatan—orang-orang menyebutnya kidal. Waktu kecil, tiap main dengan baju lengan pendek, Gemani selalu ditatap jijik oleh anak-anak seusianya. Bahkan ada yang bilang Gemani seperti monster tangan. Karena itu, Ibu membelikan seragam sekolah berlengan panjang—untuk menutupi tangan—meski dengan setelan rok pendek.

Cerita pembasmian tumor yang gagal jadi landasan mengapa Gemani begitu takut untuk memberitahu benjolan lehernya pada Ibu. Gemani takut ibu bertambah sedih, lagi-lagi karena benjolan yang ada di tubuhnya. Sepertinya, benjolan di tangan Gemani begitu kesepian sampai-sampai mengajak teman baru.

Lihat selengkapnya