Rasanya sudah tak terhitung berapa kali Gemani menumpang kapal untuk merantau ke Lampung. Namun, setiap kali kaki menapak di dek kapal, air mata tak pernah bisa ia tahan. Ada sesuatu yang selalu mengguncang hatinya—rasa takut yang tak kunjung hilang. Takut mendengar kabar buruk dari keluarga di rumah, takut dengan kesepian yang menunggunya.
Meskipun ia selalu mencoba membesarkan hati, perjalanan pulang pergi ini tak pernah terasa lebih mudah. Setiap perpisahan dengan keluarga pasti selalu meninggalkan kekosongan yang mendalam, seolah ada bagian dari dirinya yang tertinggal di rumah. Saat angin laut menerpa wajahnya di kapal, Gemani sering bertanya-tanya, “Apakah semua pengorbanan ini benar-benar sepadan?”
Di Lampung, hidupnya tak pernah sepenuhnya nyaman. Dulu, ada Anggi—teman yang sudah seperti saudara sejak MTs. Mereka sempat pernah tak terpisahkan, bagaikan Upin dan Ipin. Di semester tiga, setiap hari mereka bersama. Namun, di semester empat, segalanya mulai berubah. Anggi semakin jarang pulang ke kost, ia menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman dari jurusannya. Semakin jarang Anggi pulang, semakin terasa dengan jelas bahwa hubungan mereka terasa canggung, dan ketegangan kecil mulai muncul di antara mereka.
Suatu malam Gemani memberanikan diri bertanya, "Kenapa kamu sering nggak pulang?"
“Aku sibuk, Gem, gak bisa kayak dulu terus,” kata Anggi. Nadanya terdengar lelah, bahkan sedikit kesal.
Itu adalah pertama kalinya Gemani merasa benar-benar jauh dari sahabatnya. Kesalahpahaman yang dulu mungkin bisa mereka selesaikan dalam sekejap kini terasa seperti jurang yang memisahkan mereka.
Di semester lima ini, mereka memutuskan untuk pisah kost. Anggi pindah ke kontrakan bersama teman-teman jurusannya, dan Gemani bersama teman-teman dari jurusannya; Fatim dan Olive, serta satu teman SMA Fatim yang berkuliah di jurusan DKV, namanya Launa.
Keputusan tersebut tak semudah yang terlihat oleh mata manusia. Setiap kali berpapasan dengan Anggi, ada rasa aneh yang menggantung di udara—senyum kaku sampai obrolan yang terasa terpaksa. Gemani tahu, segala sesuatu pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Dulu, mereka bisa menghabiskan malam dengan bercanda, merencanakan masa depan, bahkan bermimpi wisuda bersama. Namun kini, percakapan mereka hanya seperti bayangan dari masa lalu yang tak lagi utuh. Setiap kali kenangan itu kembali, Gemani bertanya dalam hati, "Apa aku yang salah? Apa Anggi menjauh karena aku nggak cukup baik sebagai teman?"
Ada kalanya, Gemani merasa seperti orang asing di kehidupan teman-temannya sendiri. Bahkan Nana, satu-satunya teman dari jurusan yang dulu sering menemani Gemani menjelajahi tempat-tempat baru di Lampung seusai kelas, kini lebih sering bersama Rohim, pacarnya. Hubungan mereka yang dulu begitu dekat, perlahan memudar.
“Besok sore kita jalan, yuk? Udah lama nggak jalan,” ajak Gemani suatu sore dengan harapan yang tipis.
“Maaf, Gem. Aku udah ada janji sama Rohim. Mungkin lain kali, ya?” jawab Nana sambil tersenyum tipis. Bagi Gemani, senyum itu lebih terasa seperti penolakan yang lembut.