Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #5

Ketika Malam Memanggil Sambara

Gemani duduk di ruang tunggu Puskesmas, di mana udara dingin dari pendingin ruangan berbaur dengan wangi khas antiseptik. Di tangannya, sebuah kertas antrean terlipat rapi, tetapi pikirannya jauh dari ketenangan. Ia memandangi lantai, mencoba mengalihkan diri dari rasa mual di perutnya, dari detak jantung yang tak beraturan. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya namanya dipanggil, suara itu seperti membelah kebisuan di antara derap langkah orang-orang yang berlalu-lalang.

Dengan langkah yang terasa berat, Gemani masuk ke ruang pemeriksaan. Ada bayangan kegelisahan yang menari di balik matanya. Seorang dokter muda berhijab panjang menyambutnya dengan senyum lembut, seakan mengerti keresahan yang tersimpan di balik raut wajahnya yang tenang.

“Keluhannya apa, Mba?” tanya dokter itu sambil menelusuri catatan di meja.

“Ada benjolan di leher saya, Dok,” jawab Gemani pelan. “Sudah lima bulan. Saya juga setiap malam selalu demam sampai pagi.”

Dokter memeriksa dengan teliti, jari-jarinya yang ringan meraba leher Gemani, lembut tapi pasti. “Ada dua benjolan,” ujarnya dengan suara yang terdengar hati-hati. “Kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Saya akan merujuk kamu ke rumah sakit untuk poli bedah.”

Gemani hanya mengangguk, seolah semua rasa takut dan pertanyaan tak lagi punya tempat untuk diungkapkan. Sebuah gelombang dingin menjalar di punggungnya. Setelah menerima surat rujukan, langkahnya terasa seperti mengarungi sungai kegelisahan yang makin dalam.

Sesampainya di rumah sakit, suasana menjadi lebih menekan. Ruang tunggu poli bedah dipenuhi oleh percakapan samar dan desahan napas lelah. Ada suara tawa, suara-suara hangat dari mereka yang ditemani keluarga. Namun, bagi Gemani, suara-suara itu seperti gaung dari dunia yang terasa semakin jauh. Di sudut ruangan, ia duduk sendiri, memandangi kerumunan yang tampak begitu hidup, seolah dinding tak kasat mata memisahkannya dari segala keramaian.

Ketika namanya kembali dipanggil, Gemani berdiri, langkahnya lamban dan ragu, seolah tiap gerak tubuhnya tenggelam dalam berat yang tak terlihat. Ia memasuki ruang pemeriksaan poli bedah dengan hati yang semakin dipenuhi oleh bayangan-bayangan ketidakpastian.

Sambil berusaha menjelaskan kondisinya, suara Gemani bergetar tipis. Demam yang tak kunjung reda, benjolan di leher, rasa nyeri kepala yang makin hari makin menjadi, tubuh yang kian mudah lelah—semuanya terlontar begitu saja, seakan setiap kata adalah pintu yang membuka rasa takutnya semakin lebar.

Dokter mendengarkan dengan seksama, kemudian memeriksa lehernya sekali lagi. "Kita mulai dengan USG dulu, ya," katanya tenang. "Biasanya hasilnya keluar minggu depan, sekalian kontrol. Untuk sekarang, saya kasih obat demam dan pereda nyeri sementara."

Setelah menjelaskan prosedur USG, asisten dokter mengarahkan Gemani ke ruang radiologi. Di ruang radiologi, suasana menjadi hening, hanya terdengar suara mesin dan langkah kaki perawat. Gemani diminta untuk berbaring di meja pemeriksaan. Seorang dokter radiologi dengan perlengkapan USG mendekat, tersenyum ramah sambil mengoleskan gel dingin pada kulit lehernya. 

Gemani merasakan sensasi dingin yang mengalir, diikuti oleh gerakan transduser di atas lehernya. Suara mesin bergema lembut, mengisi ruang yang sunyi. Ia menatap ke langit-langit, mencoba tidak memikirkan semua kemungkinan yang ada di benaknya.

Lihat selengkapnya