Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #7

Beban yang Terurai Senyap

Lima hari berlalu, dan Gemani merasakan tubuhnya semakin berat, seolah-olah setiap gerakan menuntut tenaga lebih. Ditambah, flu yang sudah bersarang beberapa hari terakhir membuatnya makin lesu. Setelah kelas Machine Learning selesai tepat pukul 9 pagi, dia memutuskan untuk segera ke puskesmas.

Suasana kampus ramai, mahasiswa hilir mudik di sepanjang koridor, berbicara dengan suara yang riuh, dan langkah kaki mereka berpadu dengan derai tawa yang menggema. Gemani, dengan ponsel di tangannya, berjalan menuju lobi gedung kampus, bersiap untuk memesan ojek online.

Sebelum jari-jarinya menyentuh layar untuk memesan, sebuah suara akrab terdengar dari arah belakang, menembus keramaian yang memenuhi udara pagi itu.

“Gemani, mau ke mana?”

Gemani menoleh dan melihat Sambara, yang berjalan mendekat dengan santai di tengah hiruk-pikuk kampus. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin pagi, jaket jeansnya terbuka, memperlihatkan kaos navy yang dikenakannya. "Mau ke puskesmas," jawab Gemani, suaranya terdengar parau, berusaha tersenyum kecil meski tubuhnya terasa lelah.

Sambara menatapnya dengan alis terangkat. “Puskesmas? Udah pesan ojek?”

Gemani menggeleng lemah. “Baru mau pesan ini,” katanya, menunjukkan layar ponsel di tangannya.

Sambara mengamati wajahnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kenapa harus naik ojek? Aku bawa motor. Bareng aja, parkiran dekat kok.”

Gemani terdiam, menimbang tawaran Sambara di tengah suara langkah-langkah yang melintasi lobi. Suasana di sekeliling mereka masih ramai, mahasiswa yang baru keluar dari kelas sibuk berbincang, beberapa berjalan cepat menuju parkiran. "Nggak apa-apa? Nggak repot, Bar?" tanyanya ragu.

Sambara tertawa kecil, menggeleng pelan. “Repot gimana? Ayo, lebih cepat bareng aku.”

Gemani akhirnya mengangguk, merasa lebih nyaman menerima tawaran itu daripada harus menunggu ojek di tengah kondisi tubuh yang lelah. Mereka berjalan bersama menuju parkiran, melewati keramaian kampus yang masih bergemuruh. Langkah mereka melintasi keramaian mahasiswa yang bergerombol, suara obrolan dan tawa tak pernah berhenti, seolah kampus ini selalu hidup dengan energi yang tak pernah pudar.

Sesampainya di parkiran, Sambara menyalakan motornya dengan satu gerakan cepat. “Ayo, naik. Kita langsung ke Puskesmas,” katanya, suaranya sedikit tenggelam oleh suara mesin motor yang lain di sekitar mereka.

Gemani tersenyum tipis, naik ke motor tanpa banyak bicara. Ketika motor mulai melaju, dia merapatkan pegangannya di sisi jok motor, merasakan angin pagi yang lembut menyapu wajahnya. Meskipun suasana di kampus masih ramai dan berisik, perjalanan mereka terasa tenang, ada jeda dari semua kebisingan.

“Flunya udah lama?” tanya Sambara di tengah perjalanan, mencoba mengisi keheningan.

“Baru beberapa hari. Tapi badan rasanya capek terus,” jawab Gemani sambil berusaha menjaga keseimbangan. “Kemarin juga udah ke puskesmas karena ada benjolan di leher, tapi belum kontrol lagi.”

Sambara mengangguk, matanya tetap lurus menatap jalan yang mulai dipadati kendaraan. “Kalo udah sampai, jangan lupa kasih tahu dokter semuanya ya.”

Gemani tersenyum kecil, meski lelah. "Iya, nanti aku sampaikan. Makasih ya, Bar, udah bantuin."

Sambara menoleh sedikit, meskipun senyum di wajahnya tak terlihat oleh Gemani, tapi hangatnya terasa di setiap kata yang ia ucapkan. “Jangan sungkan. Kalo butuh apa-apa, tinggal bilang aja.”

Tak lama kemudian, mereka sampai di puskesmas. Sambara memarkir motornya di area parkir yang rindang. Mereka berjalan bersama menuju ruang tunggu. Puskesmas lebih sepi dari kampus, hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu giliran. Setelah mendaftar, Gemani duduk di bangku panjang, dan Sambara duduk di sampingnya, tetap menemaninya.

Suasana di ruang tunggu terasa sunyi, hanya sesekali terdengar batuk atau suara panggilan petugas. Gemani menunduk, merasakan kelelahan yang makin terasa berat di tubuhnya.

Lihat selengkapnya