Langit pagi masih berwarna lembut, seolah menawarkan kedamaian setelah malam yang panjang. Gemani berjalan pelan menuju motor yang sudah terparkir rapi di depan kontrakannya. Sambara sudah menunggu di sana, mengenakan jaket favoritnya yang sudah Gemani kenal luar dalam. Senyum tipisnya terlihat, tapi di balik itu, Gemani bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar sapaan biasa. Sambara, yang pernah ia putuskan berbulan-bulan lalu, nyatanya belum pernah benar-benar pergi dari hidupnya.
"Selamat pagi, nona putus-putusin orang sembarangan," Sambara berseloroh sambil melemparkan helm ke arah Gemani.
Gemani memutar bola matanya. "Pagi, Tuan-nggak-bisa-move-on," jawabnya dengan nada bercanda, meski ada sesuatu dalam kata-kata itu yang terasa lebih dalam.
Ia mengenakan helm, dan tanpa perlu diminta, tangannya refleks meraih jaket Sambara dari belakang, persis seperti dulu ketika hubungan mereka masih utuh. Sambara menyalakan motor, dan mereka berdua memacu jalanan kampus yang masih sepi. Angin pagi bermain di sekitar mereka, tapi tak ada percakapan. Hening, tapi nyaman. Seperti ada janji tak terucapkan di antara suara deru motor dan gemuruh perasaan yang tak pernah benar-benar padam.
Setibanya di kampus, mereka turun dari motor. Gemani menatap Sambara, mencoba membaca pria di depannya yang meskipun sudah ia putuskan, tetap saja tak pernah berpaling. Sambara hanya membalas dengan tatapan lembut.
Di dalam kelas, mereka duduk berdampingan. Sambara, meski status mereka kini hanya sebatas teman, tetap saja seperti dulu-memperhatikan setiap detail, mengulurkan bantuan tanpa diminta. Sering kali tatapan mereka bertemu di sela-sela materi kuliah yang terasa berat. Sambara hanya memberikan senyuman kecil, dan Gemani tahu, di balik senyuman itu ada perasaan yang tak pernah berubah.
"Kamu beneran mau bantuin aku ngerjain tugas Data Mining?" tanya Gemani setengah bercanda.
Sambara tertawa kecil, "Ya iyalah. Daripada kamu pingsan duluan lihat dataset sebesar itu."
Gemani hanya mendengus, tapi senyum tipis tak bisa ia tahan. "Thanks, Bar. Udah sering banget bantuin."
Sambara menyikut lembut bahu Gemani. "Kalo mau bayar terima kasihnya, bisa kok ditukar dengan makan ayam geprek bareng aku abis ini."
Gemani memutar matanya sambil tertawa kecil. "Ayam geprek lagi? Apa gak bosen?"
Sambara mengangkat bahu, senyum jahilnya terlihat jelas. "Gimana bisa bosen? Ayam geprek itu sumber energi buat aku. Apalagi kalo makannya bareng kamu."
Gemani terdiam sejenak, matanya sedikit menyipit. "Ciee, gombal banget nih sekarang. Biasanya juga gak ada basa-basi gini."
Sambara tertawa renyah. "Lah, sekarang emang harus pinter-pinter ngegombal. Siapa tau dengan gombalan, ada diskon buat hati yang pernah retak."