Gemani menggenggam surat rujukan internal yang baru saja diberikan dokter bedah. Jemarinya menyerahkannya pada perawat yang bertugas, yang kemudian mengarahkan Gemani menuju meja pendaftaran di poli penyakit dalam. Di sekelilingnya, rumah sakit yang sebelumnya tampak lengang kini terasa lebih hidup—riuh oleh langkah-langkah terburu-buru lengkap dengan gumaman pasien yang menunggu.
Sambara, yang selalu setia di sampingnya, menatapnya penuh perhatian, wajahnya yang hangat seperti sebuah oase kecil di tengah gurun kecemasan Gemani. “Kamu oke?” tanyanya.
Gemani hanya mengangguk pelan, padahal ia merasa seperti kapal tua yang berlayar di tengah badai—menanti kapan akan karam.
Setelah selesai mendaftar, mereka duduk di ruang tunggu. Di depan mereka, layar digital berpendar, memanggil nama pasien satu per satu. Setiap kali layar itu berkedip, Gemani merasa jantungnya ikut melompat. Sambara, duduk di sampingnya, terus berusaha melucu untuk mengurangi tegang.
“Gimana, kalau nanti pas dipanggil nama kamu, aku jawab pakai suara robot? ‘GEMANI… SILA… KAN… MA… SUK’,” ucap Sambara dengan nada monoton seperti robot, yang sukses membuat Gemani tersenyum tipis.
“Boleh juga, tapi kayaknya malah kamu yang minta dipanggil,” balas Gemani, suara lelahnya bercampur geli.
Akhirnya, nama Gemani dipanggil. Gemani melangkah masuk ke ruangan dokter penyakit dalam. Ruangan itu cukup tenang, dipenuhi aroma antiseptik yang khas.
"Keluhannya apa?" tanya dokter dengan nada halus.
Gemani menarik napas panjang sebelum berbicara. "Dok, ada benjolan di leher kiri saya, sudah beberapa bulan gak hilang. Saya juga sering demam tinggi setiap hari, tubuh lemas dan gampang lelah. Hb saya rendah, terakhir dicek cuma 8 di puskesmas. Dan sekarang saya kena flu juga. Awalnya saya mau dibiopsi, Dok, tapi karena Hb nya rendah, jadi dirujuk ke poli penyakit dalam."
Dokter mendengarkan dengan seksama, jarinya bergerak di atas keyboard, mencatat setiap keluhan. Setelah Gemani selesai, dokter menatapnya dengan penuh perhatian. "Batuknya gimana? Kering atau berdahak?" tanyanya.
"Batuknya kering, Dok, nggak berdahak," jawab Gemani singkat, menatap lantai, enggan bertemu mata dokter yang seolah mencari jawaban lebih dalam dari sekadar kata-kata.
Dokter mengangguk-angguk, tampak merenung sejenak. "Baik, meskipun batuknya kering, kita tetap harus memastikan semuanya. Saya ingin kamu rontgen hari ini, untuk melihat ada apa dengan paru-parumu. Hasilnya bisa kamu ambil besok, dan kita bisa bahas lagi setelah itu."
Gemani mengangguk patuh, meski hatinya terasa berat. Bayangan rontgen, pemeriksaan, dan segala hasil yang mungkin muncul membuat pikirannya melayang-layang ke segala penjuru.
Dokter menuliskan surat pengantar untuk rontgen, lalu menyerahkannya. "Jangan terlalu cemas dulu," ujarnya. "Ini hanya langkah awal untuk memastikan semuanya baik-baik saja."
Setelah mengambil surat pengantar itu, Gemani dan Sambara berjalan menuju bagian radiologi. Kaki Gemani semakin berat, seolah beban pikirannya menetes turun ke seluruh tubuhnya, membuat setiap langkah terasa seperti berjalan di pasir basah.
"Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Sambara lagi, kali ini suaranya lebih pelan, seolah berusaha menyusup ke dalam kekacauan pikiran Gemani.
Gemani tersenyum tipis, meski lelah di matanya sulit disembunyikan. "Aku baik-baik aja, Bar. Cuma capek."
Sambara hanya tersenyum simpul, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melingkarkan lengannya ke bahu Gemani, memberikan pelukan yang tak berkata banyak, tapi menyampaikan segalanya.
Mereka melanjutkan ke radiologi untuk menjalani rontgen. Setelah mendaftar di ruang radiologi, Gemani menyerahkan surat rujukan. Petugas radiologi, seorang perempuan berhijab dengan senyum yang menghangatkan. "Silakan menunggu sebentar ya, Mbak Gemani. Nanti akan kami panggil untuk rontgen,” ucapnya dengan nada ramah sambil mencatat data dari surat rujukan itu. Gemani mengangguk pelan, lalu kembali ke kursi tunggu di samping Sambara.
Sambara yang duduk di sebelahnya terus berusaha mencairkan suasana. Mata Gemani yang semakin berat dan bibir yang makin jarang tersenyum membuat Sambara tak hentinya mencoba menciptakan dialog kecil untuk menghiburnya.
“Kalau udah selesai rontgen nanti, mau langsung makan apa pulang dulu?” tanyanya, sedikit menggoda, sambil menepuk bahu Gemani dengan pelan.
Gemani menarik napas dalam-dalam, seolah udara yang ia hirup tidak cukup mengisi paru-parunya. “Lihat nanti aja, Bar. Sepertinya aku makin capek,” jawabnya lemah. Pandangannya lurus ke lantai, seakan-akan ada sesuatu di sana yang menenangkannya.
Sambara mengangguk, kali ini lebih serius, dan mereka berdua terdiam dalam keramaian rumah sakit yang semakin riuh dengan lalu-lalang para pasien dan keluarga mereka. Waktu terasa merambat, menambah beban pada bahu Gemani yang mulai terasa berat. Sampai akhirnya, suara petugas radiologi memecah keheningan.