Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #2

Di Ujung Pagi

Di bawah sinar matahari yang hangat, Fikriyyah duduk di beranda rumahnya, merasakan keindahan pagi yang menyegarkan. Udara segar membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam, menciptakan suasana ceria yang kontras dengan kerumitan dalam hatinya.

Gemani, anak sulungnya, akan merantau ke Lampung hingga akhir tahun. Ojala, anak kedua yang kini duduk di bangku MAN, telah berangkat lebih awal, meninggalkan rumah sebelum matahari benar-benar terbit. Dan Nisaka, si bungsu yang dulu manja, kini lebih sering mengurung diri di kamar, terjebak dalam dunia permainan ponselnya, mengabaikan tawa dan permainan yang biasanya mengisi hari-harinya.

Meskipun di antara mereka tersimpan jarak yang tak terhindarkan, rasa kasih sayangnya tak pernah pudar. Dia adalah tumpuan harapan bagi keluarganya, bahkan di tengah cobaan berat yang harus dihadapi.

Sejak suaminya mengalami empat kali kecelakaan yang mengharuskannya untuk berhenti bekerja, beban yang diangkat Fikriyyah semakin berat. Namun, dengan ketulusan hati, ia menerima kenyataan itu. Kehidupan tak selalu adil, dan ia belajar untuk menghadapi segala tantangan dengan sabar.

Setiap pagi, Fikriyyah bangun lebih awal, saat embun masih menyelimuti daun-daun di taman. Ia menyiapkan sarapan dengan penuh perhatian, berharap bisa memberikan kehangatan pada keluarga. Anak-anaknya sering kali tidak sempat membantu, terjebak dalam rutinitas masing-masing. Ojala berangkat lebih pagi untuk sekolah, sementara Nisaka lebih memilih menghabiskan waktu di dalam kamar. Fikriyyah tak pernah mengeluh, karena baginya, kebahagiaan anak-anak adalah prioritas.

Hari ini, meskipun suasana pagi cerah, ada nuansa kesedihan yang menyelimuti hatinya. Gemani, yang telah ia besarkan dengan penuh cinta, akan pergi lagi. Setiap kali Gemani merantau, Fikriyyah merasa seolah separuh jiwanya ikut pergi bersamanya. Ia mengingat saat-saat indah ketika Gemani masih kecil, ketika tawa dan permainan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Gemani perlahan tumbuh menjadi gadis dewasa yang menjalani kehidupan barunya, dan Fikriyyah harus merelakannya.

Dengan langkah pelan menuju kamar Gemani, Fikriyyah melihat anak sulungnya sedang sibuk merapikan barang-barang di dalam ransel. Ia tak ingin mengganggu, jadi ia berdiri di ambang pintu, menikmati momen berharga itu. Gemani kini sudah pandai mengemas barang-barangnya sendiri, tampak dewasa dalam setiap gerakan.

“Teh, sudah beli tiket kapalnya?” tanya Fikriyyah pada akhirnya.

Gemani menoleh, memberi senyuman yang seolah menguatkan ibunya. “Belum, Bu. Nanti kalau sudah dekat pelabuhan, aku beli.”

“Jangan lupa pakai kapal eksekutif ya. Gapapa sedikit mahal, yang penting cepet sampai dan nggak terlalu lama di kapal,” lanjut Fikriyyah, memastikan anaknya memilih opsi yang paling nyaman. Sebab, ia tahu betul perjalanan panjang bisa melelahkan, dan baginya, kenyamanan Gemani jauh lebih penting daripada soal harga tiket.

“Iya, Bu. Tenang aja,” jawab Gemani, berusaha menenangkan kekhawatiran ibunya.

Sementara itu, tepat di dalam kamar Gemani yang sudah terbuka lebar, pintu kamar Nisaka masih tertutup rapat. Seperti hari-hari biasanya, Nisaka terjebak dalam dunia digital, terbenam dalam layar kecilnya, mengabaikan segala yang terjadi di dunia nyata. Fikriyyah hanya bisa berharap Nisaka suatu hari akan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tak hanya datang dari interaksi di dunia maya. Ia rindu melihat senyuman dan tawa Nisaka yang dulu begitu ceria ketika berinteraksi dengan dunia nyata.

Fikriyyah melirik sekilas ke arah pintu kamar anak bungsunya dengan perasaan campur aduk—ada cemas, ada harap, dan ada lelah, sebelum akhirnya kembali berbicara dengan Gemani. "Jangan lupa kabari ibu kalau sudah sampai ya."

“Pasti, Bu. Aku akan telepon,” jawab Gemani. Ada secercah pengertian di matanya, seolah ia memahami kerisauan ibunya.

Di momen-momen seperti ini, Fikriyyah merasakan pertempuran batin antara kebanggaan dan kesedihan. Dia sadar bahwa setiap langkah yang diambil Gemani adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan, tapi sebagai seorang ibu, hatinya terasa rapuh setiap kali harus merelakan. Dengan perasaan yang penuh, Fikriyyah memanjatkan doa, berharap agar Gemani dikelilingi oleh teman-teman yang baik, yang saling peduli dan mendukung satu sama lain di tempat perantauan.

Lihat selengkapnya