Pada dini hari yang sunyi, saat suara azan subuh baru saja berkumandang dari kejauhan, Gemani duduk terkurung dalam sudut ruang kontrakan yang sempit. Udara dingin merayap perlahan ke dalam ruangan, menciptakan suasana sepi yang menyelimuti hatinya. Dinding-dindingnya yang memudar, dengan cat yang mengelupas, seolah menyiratkan betapa lama ia telah terabaikan, seperti dirinya sendiri. Di atas meja kecil yang berdebu, jarum jam berdetak pelan, menjadi satu-satunya pengingat bahwa waktu tetap bergerak, meski setiap detiknya terasa begitu lambat.
Gemani meraih ponselnya dan menekan nomor ibunya. Dalam hening yang mencekam, suara dering telepon seakan memenuhi setiap sudut ruangan, menggema dengan kesepian yang menyakitkan. Hingga akhirnya, suara lembut dan penuh kasih dari ibunya menyapanya.
"Assalamualaikum, Teh."
"Waalaikumsalam, Ibu. Ibu sehat?" tanya Gemani, berusaha menata suaranya agar terdengar tegar, meski di dalam hatinya, rasa sesak itu terus menggerogoti.
"Alhamdulillah, Ibu sehat. Teteh sehat?" Jawaban ibunya meluncur lembut, seperti angin segar di pagi hari yang menembus dinginnya suasana.
Gemani terdiam sejenak. "Masih demam tiap malam, Bu," ia menjawab pelan, suaranya berat dan penuh kepedihan, seolah menggambarkan beban yang selama ini ditanggung sendirian di perantauan.
"Obat dari puskesmas Cilegon waktu itu udah habis?" nada suara ibunya bergetar, menampakkan kecemasan yang mendalam.
"Udah habis, Bu. Tapi gak ngaruh apa-apa," Di ujung telepon, ia membayangkan ibunya berusaha menahan rasa khawatir yang terus menggunung di hati.
"Kalo masih demam terus, coba periksa ke puskesmas dekat sana, ya. Jangan tunggu sampai makin parah," saran ibunya dengan nada penuh perhatian. Gemani tahu betul bahwa di balik suaranya yang tenang, ibunya pasti diliputi rasa cemas yang tak terucapkan.
"Udah, Bu. Tadi malah dirujuk ke poli bedah, udah di USG, tapi hasilnya belum keluar," jelas Gemani. "Minggu depan baru bisa kontrol lagi."
“Puskesmas? Kok Ibu baru tahu? Kenapa gak bilang dari awal, Teh?”
Gemani menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Maaf, Bu. Baru sempat ngabarin."
"Lain kali bilang, ya. Apalagi soal kesehatan. Ibu jadi tambah khawatir kalo gak tahu keadaanmu. Jangan lupa makan teratur, jangan sampai lambungnya ikutan sakit."
“Iya, Bu. Udah makan kok. Cuma kadang bingung sendiri di sini, rasanya pengen pulang,” Gemani akhirnya mengakui, suaranya dipenuhi kerinduan yang mendalam.