Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #11

Menyusuri Jalan Tak Berujung

Gemani duduk di lantai kontrakannya, laptop menyala di depannya, dan ponselnya tak pernah lepas dari genggaman. Hanya ada satu hal yang terus menerus ia cari di Google, YouTube, Instagram, TikTok, dan Twitter—efusi pleura.

Setiap platform ia selami, mulai dari artikel medis hingga video pengalaman pribadi orang-orang yang telah menjalani prosedur pungsi pleura. Suara dokter, perawat, dan pasien yang menceritakan proses panjang dan menyakitkan memenuhi kepalanya. Video demi video ia tonton, memperparah ketakutannya sendiri.

Di TikTok, ada satu video yang terus muncul berulang kali di For You Page-nya—seorang perempuan muda yang menceritakan betapa sakitnya saat jarum besar itu menembus kulit untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleuranya.

Komentar-komentar orang yang mengalami hal serupa pun membuat napas Gemani tersengal. “Kalo aku harus dipungsi, apa aku kuat nahan sakitnya?” pikirnya.

Sementara itu, rasa bingung dan khawatir makin menyesakkan dadanya. Bukan cuma soal prosedurnya, tapi bagaimana ia akan memberitahukan hal ini ke ibunya. Gemani takut ibu akan terkejut, lalu mulai menangis seperti biasa saat ada berita buruk, apalagi jika menyangkut kesehatan anaknya.

Gemani tidak ingin menambah beban di pundak ibunya yang sudah penuh dengan kerja keras dan kelelahan sehari-hari. Namun, di sisi lain, menyembunyikan ini juga bukan pilihan yang baik. Ia tahu ibunya pasti akan lebih marah kalo mengetahui nanti dari orang lain atau saat kondisinya sudah parah.

Jari-jarinya gemetar ketika mencoba mengetik pesan di WhatsApp untuk ibunya, “Bu, aku mau cerita soal hasil rontgen kemarin…” tapi ia langsung menghapusnya lagi. Ia belum siap.

Ketakutan Gemani akhirnya menjadi nyata, menghantui setiap tarikan napasnya. Ketika ia kembali ke poli penyakit dalam, tangannya gemetar, menggenggam hasil rontgen yang sudah beberapa hari tersimpan dalam kecemasan. Bersama Sambara yang selalu setia menemaninya, perasaan was-was itu semakin memuncak, seperti kabut gelap yang tak kunjung sirna.

Di ruang tunggu, waktu terasa berjalan lambat. Setiap detik yang berlalu, setiap suara langkah kaki yang terdengar, hanya mempertegas ketegangan yang menyelimuti pikirannya. Ia duduk diam, tapi di dalam dadanya, kekhawatiran berlarian tak menentu.

Ketika namanya dipanggil, Gemani menoleh ke arah Sambara. "Aku masuk dulu, ya," suaranya nyaris seperti bisikan, lemah dan bergetar. Sambara tersenyum, tapi senyumnya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya sendiri. "Aku tunggu di sini, Gem. Semangat."

Menghela napas panjang, Gemani berjalan memasuki ruang periksa. Suara pintu tertutup di belakangnya seperti sebuah garis yang memisahkan kenyataan di luar dengan badai perasaan yang menggelegak di dalam hatinya. Begitu sunyi, suasana semakin menekan, seolah ruang itu tahu akan ketakutan yang sedang ia rasakan. Dokter mulai membuka hasil rontgen, memeriksanya dengan seksama, sementara Gemani bisa merasakan dadanya semakin sesak—bukan hanya karena kondisinya, tetapi juga kecemasan yang menghimpit batinnya.

Dokter meletakkan hasil rontgen di atas meja, lalu menatap Gemani dengan tatapan serius. “Dari hasil ini, terlihat ada cairan di paru-paru kamu,” suara dokter terdengar berat. "Ini yang kita sebut efusi pleura."

Lihat selengkapnya