Setelah menerima surat rujukan untuk rawat inap, Gemani tetap duduk di ruang tunggu rumah sakit. Perasaannya berkecamuk, seperti gelombang yang tak henti-hentinya menghantam tepi pantai. Lelah, takut, bingung—semua itu bercampur aduk di dalam dadanya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih ponsel di saku dan menelepon ibunya, berusaha menenangkan diri walau suaranya terdengar serak dan rapuh.
"Ibu, dokter bilang aku harus dirawat inap," katanya, suaranya hampir bergetar. "Ada cairan di paru-paruku, efusi pleura. Kemungkinan besar tuberculosis, Bu. Jadi harus dilakukan pungsi supaya cairannya di cek laboratorium untuk memastikan penyebabnya, tapi perlu tanda tangan keluarga. Gimana, Bu?"
Sejenak, hanya ada hening di seberang telepon, seolah waktu berhenti di antara kata-kata yang tak terucap. Kemudian, suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran. "Ya Allah, Teh. Nanti ibu ke sana besok."
Gemani menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan rasa takut yang mulai menggigit dari dalam. "Iya, Bu. Aku pulang dulu ke kontrakan sekarang, mau packing baju untuk rawat inap sore ini." Ia mencoba terdengar kuat, meski ia tahu suaranya terdengar sedikit parau.
Suaranya ibunya kembali terdengar, kali ini dengan nada cemas yang lebih kentara. "Kamu nanti di UGD sama siapa, Teh? Jangan sendirian, ya."
"Sama temen kok, Bu. Aman, ada yang jagain," katanya, berusaha menenangkan.
Ibunya menghela napas di seberang. "Syukurlah, jangan lupa kabari ibu kalau ada apa-apa, ya."
"Iya, Bu, pasti. Aku kabari terus."
Setelah menutup telepon, Gemani menengadah ke langit-langit ruangan sejenak, berusaha menenangkan hatinya. Ia menarik napas panjang, lalu perlahan mengembuskannya, seolah mencoba melepaskan beban yang bergelantungan di dadanya. Namun, matanya tetap terasa panas, dan ada sesak yang tak kunjung hilang. Air mata yang mengancam jatuh, ia tolak keras. Jangan sekarang, batinnya.
Sambara, yang sedari tadi menunggu di sebelahnya, menatap penuh khawatir. Dia tahu, meski Gemani terlihat kuat, di dalamnya pasti bergejolak. Namun, seperti biasa, Sambara hanya diam, memberinya ruang untuk meresapi semua.
Saat mereka berdua berjalan menuju motor, sore yang biasanya ramai kini terasa sunyi. Jalanan yang dipenuhi deru kendaraan dan langkah-langkah terburu orang-orang pulang kerja menjadi latar yang jauh, seolah samar di telinga Gemani. Ia menaiki motor di belakang Sambara, masih terdiam. Pandangannya tertuju pada jalanan yang melintas cepat di sebelahnya, tapi pikirannya mengawang, tenggelam dalam kerumunan rasa sakit fisik dan emosi yang berputar di dadanya.
Motor melaju pelan, sementara Gemani memandang kosong, mengamati pemandangan yang tak benar-benar ia lihat. Gemani merasa, dunia terus berjalan, sementara ia terjebak dalam lingkaran rasa sakit dan kebingungan yang tak berujung.
“Man,” suara Sambara tiba-tiba memecah kesunyian di antara mereka. “Nanti aku sholat dulu di masjid. Kamu packing baju yang perlu. Gak usah bawa banyak-banyak.”