Setelah melewati antrean panjang di loket pendaftaran, akhirnya nama Gemani terdaftar di sistem UGD. Rasa lelah merayapi tubuhnya, tapi dia terus memaksakan diri berjalan, meski langkahnya terasa berat. Di sebelahnya, Sambara tetap berjalan tergesa-gesa, seolah-olah mereka sedang berlomba dengan waktu. Langkahnya cepat, sedikit cemas, tapi ada keteguhan dalam caranya melangkah, seakan itu cara dia menunjukkan kekhawatirannya tanpa harus bicara.
Begitu mereka melangkah masuk ke ruang UGD, suasana yang sesak segera menyergap mereka. Udara terasa pekat, bercampur dengan aroma antiseptik dan napas orang-orang yang terengah-engah. Di sekeliling mereka, ada wajah-wajah yang penuh harap, putus asa, dan kesakitan. Gemani bisa merasakan kepanikan yang menjalar di dadanya. Suara mesin medis yang berdengung, rintihan pelan pasien, dan langkah-langkah perawat yang bergegas membuat suasana semakin mencekam. Detak jantungnya terasa semakin cepat.
Mereka melangkah lebih dalam ke ruangan itu, dan pemandangan tempat tidur serta kursi yang penuh membuat dada Gemani semakin sesak. Tidak ada satu pun tempat tersisa. Sambara meliriknya sejenak, melihat wajah Gemani yang semakin pucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Dengan sigap, dia mencari ruang kosong, dan akhirnya menemukan sudut kecil di mana mereka bisa duduk lesehan di lantai.
Gemani duduk perlahan, bersandar pada dinding yang dingin. Lantai keramik di bawahnya membuat tubuhnya semakin menggigil, tapi rasa nyeri di tangannya jauh lebih menyakitkan. Nyeri yang terasa tajam itu membuat setiap helaan napasnya menjadi berat. Sambara duduk di sampingnya, diam namun selalu waspada. Pandangannya tak pernah jauh dari wajah Gemani, seolah dia takut kehilangan sesuatu yang penting.
"Udah banyak banget yang di sini, ya," kata Sambara, suaranya hampir tenggelam di tengah hiruk-pikuk ruangan itu. Dia mencoba untuk tetap tenang, meski jelas dia tak bisa menyembunyikan kecemasannya.
Gemani hanya mengangguk, pandangannya kabur. Di tengah keriuhan, matanya terpaku pada sosok perawat yang sedang hilir mudik membawa obat-obatan dan peralatan medis. Tiba-tiba, seorang perawat muda terlihat berhenti sejenak, matanya memperhatikan mereka. Perawat itu akhirnya mendekat sambil mendorong sebuah kursi yang tampak biasa, tapi bagai sebuah anugerah di tengah kondisi yang serba kurang ini.
"Pasien ya, Mbak?" tanya perawat itu dengan nada lembut. Suaranya menyelusup lembut di antara kebisingan, membuat Gemani tersadar sejenak dari rasa sakitnya.
Gemani menoleh dengan sedikit kebingungan, tapi mengangguk pelan. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Sambara cepat-cepat menimpali, "Iya, Mbak. Dia udah daftar tadi, tapi penuh banget di sini, jadi kita nunggu di sini dulu."
Perawat itu mengangguk dengan pengertian, matanya melirik ke sekeliling yang memang penuh sesak. "Maaf ya, sekarang lagi penuh banget, tapi biar Mbaknya gak terlalu kesakitan duduk di lantai, ini pakai kursi dulu ya," tawarnya sambil mendorong kursi ke arah mereka.
Sambara segera berdiri, menarik kursi itu lebih dekat. "Terima kasih, Mbak," ucapnya tulus. Dia membantu Gemani berdiri perlahan. Dengan bantuan Sambara, Gemani akhirnya duduk di kursi. Meski tidak bisa dibilang nyaman, setidaknya dia tak perlu lagi menahan dinginnya lantai.