Ketika petugas UGD memanggil namanya, Gemani menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri. Tubuhnya terasa berat, seakan seluruh energi sudah terkuras.
"Maaf, kamar isolasi penuh, begitu juga dengan kelas 1," kata petugas. "Tapi, ada satu kamar untuk dua orang. Salah satu pasien di sana juga Tuberculosis."
Gemani terdiam sejenak, memikirkan konsekuensi berbagi kamar dengan pasien yang kondisinya sama. Tuberculosis adalah penyakit yang menggerogoti, dan berbagi ruang dengan orang lain yang sakit mungkin menambah beban mentalnya. Tapi, tubuhnya sudah terlalu lelah untuk mempermasalahkan hal itu.
"Gapapa, saya ambil kamar itu," jawab Gemani. Dia tahu, tidak ada banyak pilihan lain.
Petugas UGD mengangguk, dan tak lama kemudian seorang perawat datang untuk mengantarkan Gemani ke kamar. Sambara, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan, segera berjalan mendekat setelah mengambil ransel Gemani dan menggantungkannya di bahunya.
Perawat berjalan lebih dulu, memimpin mereka melalui lorong rumah sakit yang sepi dan panjang. Gemani hanya bisa mendengar langkah kaki mereka berdua, serta suara mesin yang sayup-sayup terdengar dari ruangan lain. Udara dingin rumah sakit seolah makin mempertegas suasana hati yang kosong di dalam dirinya.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di kamar yang dimaksud. Perawat membuka pintu, memperlihatkan ruangan kecil dengan dua tempat tidur. Tirai putih setengah terbuka memisahkan ranjang di sebelah kanan, tempat seorang wanita paruh baya terbaring, napasnya terdengar berat.
Sambara menatap Gemani sejenak, seolah bertanya apakah ini benar-benar yang dia inginkan. Namun, Gemani hanya mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya dan Sambara bahwa ini akan baik-baik saja.
Perawat membantu Gemani naik ke ranjang yang tersedia. "Jika ada apa-apa, tekan tombol ini," ujarnya sambil menunjuk bel di samping ranjang. "Kami akan segera datang."
Gemani hanya mengangguk lagi, merasakan tubuhnya mulai beradaptasi dengan kasur yang terasa asing. Setelah perawat pergi, Sambara duduk di tepi tempat tidur, tetap dalam diam.
“Kamu pasti sembuh,” kata Sambara penuh keyakinan.
"Aamiin." Gemani menatap langit-langit kamar. Dalam hatinya, dia ingin percaya kata-kata Sambara, tapi kenyataan di sekelilingnya terasa jauh lebih berat dari itu.
Setelah beberapa menit terdiam, ponsel Gemani bergetar di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia melihat nama Ibu muncul di layar. Gemani mengambil napas dalam-dalam sebelum menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon.
"Halo, Bu?" suaranya pelan, menahan rasa lelah yang sudah semakin terasa.
"Halo, Teh. Ibu pusing banget dari tadi siang," suara Ibu terdengar lemah di seberang sana. "Ibu istirahat, tapi nggak terlalu mendingan."
Gemani merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa khawatir mulai merayap. "Pusing banget, Bu? Udah minum obat?"
"Udah, tapi masih kerasa berat di kepala," jawab Ibu.
Gemani menggigit bibirnya. Pikirannya terpecah antara keinginan untuk melihat Ibu dan rasa khawatir akan keselamatan Ibu jika harus memaksakan diri pergi. "Bu, kalau besok masih pusing, Ibu gak usah ke Lampung, ya. Gapapa, daripada Ibu kenapa-napa di jalan," kata Gemani, mencoba menenangkan dirinya dan ibunya sekaligus.
"Ibu kan mau lihat kamu," suara Ibu terdengar berat. "Tapi iya, Ibu juga takut kalau pusing ini belum sembuh. Nggak enak di jalan."
Gemani menarik napas dalam-dalam. "Nggak usah dipaksain, Bu. Belum tentu juga besok langsung ada tindakan dari dokter untuk pungsinya. Aku juga masih bisa nunggu kok. Yang penting Ibu sehat dulu."
Sejenak hening di ujung telepon. Ibu terdengar ragu, namun akhirnya berkata, "Iya, Teh, Ibu istirahat aja dulu. Kalau besok masih pusing, Ibu di rumah aja, ya."
"Iya, Bu. Aku khawatir kalau Ibu harus bolak-balik pas lagi pusing gini," jawab Gemani dengan suara lembut.