Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #15

Pungsi Si Pemecah Sekat Tak Kasat Mata

Malam itu, setelah sholat Isya, suasana rumah sakit terasa sunyi dan tenang, hanya diselingi suara derak kasur dan hembusan napas. Sambara memutuskan untuk pamit pulang. Dengan nada lembut, ia berkata, "Besok aku ke sini lagi, ya. Kalau ada apa-apa, kabarin aja," sambil menatap Gemani dengan penuh perhatian, seolah ingin menyerap semua kekuatannya.

Gemani hanya mampu memberikan senyum tipis yang penuh arti, sebuah senyum yang menyiratkan ketegaran meski hatinya bergejolak. "Gapapa, Bar. Waktu semester kemarin kena Bell's Palsy, aku juga pernah rawat inap sendirian, jadi udah biasa," jawabnya, berusaha meyakinkan dirinya sekaligus Sambara. 

Sambara menghela napas, menampakkan keraguan yang tak bisa disembunyikan. "Tapi kalau ada apa-apa beneran kabarin, ya," ulangnya, tampak gelisah, seakan tak ingin meninggalkan Gemani dalam kesendirian yang mencekam.

"Iya, aku kabarin," Gemani menjawab dengan lembut. "Oh iya, Bar, sebelum pulang, sekalian ambil surat izin aku, ya. Biar besok bisa langsung dikasih ke ruang prodi." 

Sambara mengangguk, mengerti betul tanggung jawab yang diemban Gemani. "Oke," ujarnya sambil memberikan senyuman hangat, seolah menyampaikan harapan dan dukungan.

Setelah memastikan Gemani akan baik-baik saja, Sambara akhirnya meninggalkan kamar rumah sakit. Begitu pintu kamar tertutup, Gemani merapikan selimutnya, menghela napas panjang yang seakan membawa semua beban di pundaknya. Dia merasa sepi mulai menguasai ruangan, menempel erat di dinding-dinding putih yang dingin. Meski pengalaman rawat inap sebelumnya membuatnya terbiasa, ada sesuatu yang belum hilang—perasaan hampa yang menyelimuti hatinya, seperti bayangan kelam yang terus mengintai.

Malam itu terasa panjang dan sunyi, dengan hanya suara jam dinding yang berdetak menjadi teman setianya.

Pagi harinya, sekitar jam 6, Gemani terbangun di ranjang rumah sakit yang dingin. Dengan malas, ia bangkit dan menyiapkan sarapan sendiri—sepiring bubur ayam yang terasa agak hambar. Ia menyantapnya pelan-pelan, berusaha menikmati pagi yang sunyi tanpa suara tawa atau obrolan yang menemani. Sesekali, ia melirik ke luar jendela, memperhatikan langit yang mulai berwarna cerah.

Meskipun terasa aneh sarapan sendirian, Gemani telah terbiasa. Kesunyian di sekelilingnya seperti teman setia yang selalu ada, meski tidak pernah diundang. 

Setelah menuntaskan sarapannya, rasa sedikit lebih baik menghampirinya. Ia berbaring kembali di tempat tidur, merasakan ketenangan yang menjalar dalam dirinya. Namun, ketenangan itu segera terputus oleh getaran ponsel di sampingnya. Melihat nama ibunya yang muncul di layar, Gemani segera mengangkat telepon dengan penuh antusiasme.

"Teh, ibu udah nggak pusing lagi. Hari ini insya Allah ibu bisa ke Lampung," suara ceria ibu meluncur di seberang sana, mengalirkan rasa lega ke dalam hati Gemani.

"Alhamdulillah. Kapan ibu sampai?" tanyanya dengan semangat.

"Perkiraan ibu sampai sore. Doakan aja ya, biar perjalanan lancar," jawab ibu.

"Hati-hati di jalan, Bu." Gemani merasa hangat di dalam hatinya, merindukan sosok ibunya dan berharap bisa segera bertemu. Setelah menutup telepon, senyumnya merekah. Semangat baru mulai mengalir, meski rasa sakit masih menghantui.

Dengan bersemangat, Gemani meraih kacamatanya yang tergeletak di meja. Namun, alangkah terkejutnya ia saat menyadari kacamata itu patah di bagian tengah. "Duh, kenapa sekarang sih..." keluhnya pelan, menghela napas panjang. Tidak mungkin kan harus ambil kacamata cadangan ke kontrakan sekarang? 

Merasa tak punya pilihan lain, Gemani memutuskan untuk menghubungi Olive. Ia membuka kontak Olive dan menunggu beberapa detik hingga suara familiar terdengar di seberang.

"Halo, Liv?" sapanya.

"Halo, Man! Kamu di mana?" 

"Di rumah sakit Liv, kebetulan kacamata aku patah. Aku mau minta tolong, kalau kalian ada waktu hari ini, bisa nggak bawain kacamata cadanganku yang di kos? Aku nggak bisa keluar rumah sakit soalnya."

"Wah, patah? Oke, nanti aku sama Fatim coba ambil, ya. Kalau sempat, sore ini kita bawain ke rumah sakit," jawab Olive cepat.

Lihat selengkapnya